Prolog

150 9 0
                                    

Amora tersenyum lebar membaca pesan yang baru saja masuk. Pesan dari si pujaan hati yang sudah mengisi hati dan hari-hari Amora selama enam bulan ini.

'Aku sudah di depan'

Padahal pesan seperti ini sudah sering ia dapatkan, bahkan hampir setiap hari saat Eros menunggunya di depan gerbang sekolah.

Amora tidak perlu membalas pesan itu, karena dengan gerak cepat dia membereskan buku dan alat tulisnya dan keluar dari kelas.

Hari-harinya selalu penuh warna saat bersama Eros. Jatuh cinta bahkan tergila-gila pada cowok itu ternyata mengubah dunia Amora— cewek manja, egois dan keras kepala. Bersama Eros, Amora selalu ingin menjadi cewek yang mandiri, lembut dan dengar-dengaran—hanya pada Eros tentunya.

"Hai pacar!" sapa Amora ceria. Padahal dia baru saja menyelesaikan dua jam pelajaran matematika yang di akhiri dengan tugas mandiri sebanyak 20 nomor.

Eros tersenyum kecil yang nyaris tidak terlihat. Sepertinya suasana hati Eros hari ini sedang tidak baik. Biasanya Eros akan balas menyapa atau menanyakan bagaimana hari Amora. Dan Amora akan menceritakan apa saja yang ia alami selama di sekolah pada Eros, hingga sepanjang jalan akan diisi dengan celotehan cewek itu.

"Kakak sakit?" tanya Amora penasaran juga khawatir.

Eros menggeleng dan menepuk jok belakang motornya. "Ayo! Ada hal penting yang harus aku sampaikan."

Amora memanyunkan bibirnya sambil menaiki motor besar Eros. Otaknya mulai memikirikan hal-hal yang tidak enak di dengar, seperti Eros akan sibuk dengan tugasnya dan tidak bisa menjemput Amora beberapa hari. Atau Eros ada pertandingan sepak bola di luar kota. Bukannya posesif, Amora hanya merasa takut untuk merindukan cowok itu. Seperti dua bulan lalu saat Eros mengikuti kegiatan kampus. Tiga hari mereka tidak bertemu. Selama tiga hari itu Amora terus memeriksa ponselnya berharap ada kabar dari Eros. Namun karena kesibukannya, Eros hanya menyapa Amora di pagi hari dan malamnya mereka baru bisa video call. Itu pun hanya sebentar karena Eros tertidur karena capek.

"Loh, kok berhenti disini?"

Amora memperhatikan sekitarnya. Ini bukan kafe yang biasa mereka kunjungi. Ini adalah jalan sepi yang jarang dilalui kendaraan. Dan motor Eros menepi tepat di bawah pohon.

"Aku mau ngomong," jawab Eros.

"Ya ngomongnya kenapa disini? Kenapa nggak di kafe aja?"

"Amora," Eros memegang pundak Amora. "Setelah mendengarnya, kamu akan sangat berterimakasih karena aku membawa kamu kesini."

Mata Amora mulai berkaca-kaca. Jarang sekali Eros menyebut namanya. Biasanya Eros akan memanggilnya 'sayang' atau 'princes'. Eros hanya memanggilnya 'Amora' di saat Eros marah atau kesal. Lagipula tangan Eros yang bergetar mencengkeram pundak Amora membuat Amora takut. Takut dengan hal yang akan Eros sampaikan. Entah mengapa, feeling Amora tidak enak saat ini.

"Kamu tahu, setelah papaku meninggal, aku hanya punya mama. Dan kebahagiaan mamaku adalah hal yang selalu aku harapkan dan menjadi cita-citaku."

Eros menunduk. Untuk beberapa saat dia diam. Amora pun tidak mau berbicara. Hingga terdengar helaan nafas berat diikuti suara lemah Eros.

"Usaha mama untuk naik jabatan akhirnya tercapai. Mama akhirnya bisa menjadi manajer."

Eros mengangkat kepalanya lagi, dan menatap mata Amora. "Tapi, mama menjadi manajer di kantor cabang yang ada di Makasar. Ja—"

"Makasar? Itu jauh kan? Jadi mama kak Eros akan tinggal di sana, dan meninggalkan kak Eros disini? Jadi dari tadi kak Eros sedih karena ini? Ka—"

AMOURETTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang