Part 9

5 0 0
                                    


Setelah selesai sholat subuh dan tadarus, kami jalan-jalan pagi seperti biasa kalau hari Minggu.

Di tengah perjalanan, kami berbincang sambil sesekali tertawa kecil karena beberapa perbincangan kami ada yang lucu.

Selesai jalan-jalan pagi, aku membeli bubur ayam pesanan Mama, lalu pulang ke rumah.

***

Tidak terasa, setengah tahun sudah aku menjalin hubungan dengan Mas Dimas. Kuakui dia memang sosok lelaki berjiwa pemimpin dan tegas. Mas Dimas sangat menghargai dan menyayangiku serta sangat menjaga kehormatanku sebagai seorang wanita.

Tidak sedikit tetangga rumah yang mengetahui hubunganku dengan Mas Dimas. Bahkan, ada yang menyebarkan berita, jika aku minta segera dilamar.

Memang  setelah lulus SMA, aku sengaja istirahat tidak langsung melanjutkan kuliah kejenjang perguruan tinggi dan baru akan kuliah tahun depan.

Keluargaku mengenal baik Mas Dimas, karena hampir setiap malam Minggu selesai ngaji di Majelis, Mas Dimas dan teman-temannya akan mampir ke rumah jika tidak kemalaman.

Ibu Mas Dimas juga mengetahui akan hubungan anaknya denganku. Ibunya memang baik dan sangat lembut jika berbicara kepada siapa pun.

Hingga suatu ketika, berita jika aku minta dilamar Mas Dimas tembus ke telinga Ibu dan Kakak perempuannya.

Tidak salah jika keluarganya kaget dengan kabar burung itu, karena saat ini Mas Dimas belum memiliki apa-apa. Dalam arti belum memiliki pekerjaan yang tetap untuk masa depannya.

Hingga di suatu hari, saat Mama sholat jamaah di Masjid. Kejadiaan tidak menyenangkan itu datang dan sedikit membuat Mama tidak enak hati.

Kala Mama menggelar sajadah untuk merapatkan shaf, ternyata di samping Mama ada ibunya Mas Dimas.

Mama tidak sadar kalau ternyata di sebelahnya itu Ibunya Mas Dimas. Ya, ibunya Mas Dimas memang baru pulang dari kota, karena seminggu lagi Ramadhan. Sudah terbiasa untuk berkumpul di rumah, jika bulan mulia itu datang.

"Eh ada Mamanya Kirana sama Bu Ira. Wah kompak banget, sebentar lagi jadi besan, ya. Makanya jejeran gitu shafnya," celetuk Bu Dina salah satu jamaah masjid yang memang terkenal tukang gosip.

"Wah, Bu Dina bisa saja. Masih pada kecil-kecil, kok. Mereka hanya berteman biasa," jawab Mama disertai senyum.

Tidak disangka, ternyata Ibunya Mas Dimas langsung menggulung sajadahnya dan pindah ke shaf belakang. Hingga akhirnya sholat selesai tidak ada pembahasan apa-apa sampai Mama pulang ke rumah.

****

Tok! Tok! Tok!

"Kirana! Boleh Mama masuk?" tanya Mama dari balik pintu.

"Boleh, Ma. Masuk saja, pintunya enggak dikunci," jawabku.

Tidak lama kemudian Mama masuk ke kamarku, membawa satu gelas susu coklat hangat kesukaanku dan beberapa cemilan.

"Eemmmm, Kirana! Mama mau tanya sesuatu boleh enggak?" tanya Mama yang membuatku menghentikan aktivitas membacaku.

"Boleh, Ma. Mau tanya apa? Kayaknya serius gitu, Ma," jawabku dengan penuh penasaran.

"Kamu sudah berapa lama dekat sama Dimas?" tanya mama dengan air muka yang sangat serius.

"Enam bulan, Ma. Memang kenapa, Ma? Kok, tumben Mama tanya kayak gini? Mama enggak suka sama Mas Dimas, ya?" tanyaku.

"Bukan, sayang. Bukan kayak gitu maksud Mama. Mama tanya saja, kok," jawab Mama dengan gugup.

"Dimas gimana orangnya? Selama ini yang kamu kenal, kayak mana, sayang?" .

"Baik sih, Ma. Sopan, enggak pernah yang aneh-aneh. Orangnya juga asik, romantis," jawabku sambil senyum-senyum.

"Syukurlah kalau begitu," jawab Mama.

"Emang kenapa sih, Ma? Kirana curiga kalau ada apa-apa, nih," sahutku dengan sedikit menyudutkan Mama karena penasaran.

"Mama mau ngomong sesuatu sama kamu, tapi kamu jangan berfikiran macam-macam dulu yah," lanjut Mama.

"Iya, Ma," jawabku singkat.

"Tadi pas Mama sholat maghrib di Masjid. Kebetulan di sebelah Mama tuh, ibunya Dimas, Mama nggak sadar kalau ternyata di sebelah Mama itu ibunya Dimas."

"Terus yang bikin Mama sebel tuh, kenapa harus ada Bu Dina. Kamu tahu sendiri kan, Ran. Kalau Bu Dina itu tukang gosip dan tukang nyinyir," lanjut Mama yang sangat terlihat kesal.

"Emang apa hubungannya sama Bu Dina, Ma? Kan tadi lagi ngomongin Ibunya Mas Dimas," jawabku yang mulai kebingungan.

"Tadi tuh, Bu Dina ngomong gini di masjid. Eh, ada Mamanya Kirana dan Ibunya Dimas. Waah jejeran yah shafnya, kompak banget mentang-mentang sebentar lagi jadi besan. Gimana Mama enggak kesel coba. Di Masjid kok, masih nyinyir saja mulutnya," jawab Mama.

"Terus, Mama jawab apa," kataku.

"Ah, Bu Dina bisa saja ,mereka masih pada kecil-kecil, Bu. Temenan biasa kok, Bu. Sama kayak yang lain. Mama jawab gitu, Ran," jawab Mama.

"Terus, kamu mau tahu enggak apa yang terjadi selanjutnya," lanjut Mama.

"Mau dong, Ma. Terus Ibunya Dimas jawab apa, Ma?" tanyaku penasaran.

"Ibunya Dimas tidak menjawab apa-apa, Ran. Malah langsung pindah ke shaf belakang, Ran," jawab Mama penuh hati-hati.

Aku hanya diam mendengar jawaban dari Mama yang membuat aku cukup terkejut, kenapa bisa Ibunya Mas Dimas pindah shaf hanya karena mendengar nyinyiran Bu Dina? Apa mungkin Ibunya Mas Dimas tak suka aku? Entahlah aku harus berfikir positif saja.

"Sayang, kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Mama saat mendapati aku tengah melamun mendengar ucapan Mama.

"Eh, Ma. Enggak .. Kirana enggak apa-apa kok, Ma," jawabku dengan gugup.

"Enggak usah dipikirkan, ya. Mungkin ibunya Dimas menghindari Bu Dina bukan menghindari Mama," jelas Mama sambil menenangkanku.

***

Bulan Ramadhan telah tiba, bulan yang dinanti-nantikan kami umat muslim.

Mbak Sita–Kakaknya Dimas pulang dari tempat suaminya dan akan berlebaran di sini. Mbak Sita kasihan kalau harus berlebaran jauh dari ibu dan adik-adiknya.

[Ran, tarawih pertama kamu mau tarawih di mana?] Pesan masuk dari Mas Dimas.

[Di majelis saja, Mas. Biar nanti sekalian tadarus-an.] Balasku.

[Okey, Ran. Sampai jumpa di Majelis nanti, ya. Mas Rindu kamu.]

[Iih, Mas kan baru ketemu tadi sholat maghrib, masa sudah kangen saja] Balasku sambil senyum-senyum sendiri.

[Enggak tahu kenapa, Mas enggak pernah bosan ketemu sama kamu walaupun hanya melihat saja, Ran. Rasanya Mas ingin selalu ada di dekat kamu.]

Aku sungguh dibuat tersipu dengan rayuannya.

[Ya udah, Mas. Sampai ketemu nanti ya. Aku sudah diajakin makan malam sama Mama, Papa.]

[Oke, sayang.]

***

Setelah selesai makan malam, aku pun bersiap-siap untuk pergi ke Majelis. Memang sih, belum adzan isya. Namun, biarlah. Sekalian bisa kumpul-kumpul dulu dengan sahabat-sahabatku sambil menunggu isya.

"Pa, Mama ke mana? Kirana mau ke majelis. Mungkin pulangnya malam, Pa. Kirana mau tadarus sekalian soalnya," pamitku pada Papa, karena Mama tidak tahu ke mana.

"Mama lagi di rumah Bulik Jum, tadi si Akma sakit. Katanya muntah-muntah, mau nganterin ke klinik. Kamu hati-hati, ya. Nanti kalau enggak berani pulang sendiri, telepon Papa biar dijemput," jawab Papa panjang kali lebar.

"Siap, Pa. Ya sudah, Kirana pamit. Assalamualaikum," pamitku sambil bersalaman lalu mencium punggung tangan Bapak dan berlalu pergi ke majelis.

Jodoh Rahasia TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang