[𝟏]

54 8 0
                                        


Uang saku saat itu perbulannya tidak sampai seratus ribu selalu Defrian sisihkan agar setiap minggu bisa mengabari orang-orang terkasihnya. Ibu, bapak, adik dan terutama Gia.

Di hari Minggu pagi Defrian akan bekerja di bengkel sebelah wartel yang biasa ia kunjungi. Uangnya akan ditabung untuk membeli sepeda motor Honda. Sepeda motor itu akan ia gunakan untuk mengajak Gia jalan-jalan kalau nantinya berkunjung.

Di kota dingin inilah Defrian mengenyam pendidikan di universitas ternama. Bahkan jurusan Arsitektur inilah yang membuatnya bisa bersama Gia.

Hari pertama masuk kelas sebelas tepatnya. Bapak guru wali kelas meminta untuk duduk berpasangan lawan jenis. Dihari kedua itu tersisa Gia dan Defrian yang belum memiliki pasangan terpaksa duduk bersama.

Langkah baik Defrian untuk maju menjadi teman Gia berlanjut semenjak pulang sekolah ia bertanya pada Gia

"Gia!" panggil Defrian.

"Iya?" jawab Gia yang sudah menyampirkan ranselnya di bahu dan akan berjalan keluar kelas.

"Besok duduk bareng lagi kan ?" tanya Defrian ragu.

"Pastinya" Jawab Gia sembari tersenyum ramah.

Ingatan mengenai hari itu membuat Defrian merindukan Gia.

Meskipun jarak kota ini dan kampung halaman hanya tiga jam menggunakan bus, Defrian hanya pulang setiap libur pergantian semester tentunya untuk menghemat uang. Gia dan rumahnya adalah penyemangat belajar sebagai anak rantau.

Hari ini kelas sore Defrian ditiadakan. Maka dari itu, baru jam dua siang tapi sudah jagongan didepan kamar kosnya yang berada di lantai dua.

Melihat ke bawah banyak pasangan kampus yang berjalan kaki atau bergoncengan dengan motor menyusuri gang sempit tersebut.

Akhir pekan pertengahan bulan Oktober Defrian entah kenapa lebih santai padahal minggu depan adalah pekan ujian tengah semester. Ia berjalan santai menuju wartel menggunakan baju santainya, menyapa Pak Bagoes.

"Lho Defrian? kok sudah kesini, bolos ya kamu"

"Ditiadakan pak. Dari tadi siang saya sudah jagongan di kos terus bosen makanya kesini" jelas Defrian.

"Kamu ga coba telpon pacarmu to? bisa lebih lama kan kalau jam segini"

Defrian mengangkat tangan dan menggoyangkannya "nggak pak, takut ganggu waktu belajarnya. Uang saya juga ga cukup kalau telpon lama-lama"

"kalau begitu saya kasih kamu gratis lima menit pertama kalau pacar kamu yang angkat. Tapi kalau bukan ya tetap bayar"


"Halo? Selamat sore" sapanya setelah dering kedua telepon diangkat.

"Halo? Def?"

"Gia?"

"Iya. Ini Gia"

"Kamu kok ga belajar?"

Gia menggelengkan kepalanya menjawab bukan bagaikan Defrian bisa melihat "Hari ini mau makan malam bersama kolega papa jadi aku bantu ibu masak. Kamu bukannya ada kuliah Def? baru jam setengah tiga loh. kok sudah telpon?"

"Kelasku di batalkan dan diganti hari"

"Nanti sore kamu telpon lagi gak Def?" tanya Gia karena biasanya jadwal mereka telpon adalah jam lima sore.

"kayanya gak deh ya. Uangku ga cukup kalau telpon lagi nanti sore. Habis ini aku mau telpon ibu juga"

"Tapi kamu sudah makan siang kan ya?"

"Iya sudah. Makan lalapan di kantin sebelum pulang, kayanya nanti malam gak makan lagi" kata Defrian dengan nada bicara yang dibuat sedih.

"Ya makan dong Def! Kamu besok kerja loh pasti ga sarapan dulu. Paling gak kan makan malem biar ada tenaga" omel Gia karena Defrian yang tidak mau makan malam.

"Iya iya siap calon Nyonya Defrian." diakhiri dengan kikik.

"Hush ngomongnya kejauhan kamu tuh"

"Yasudah aku salam buat Pak Bagoes ya walaupun aku ga tau orangnya yang mana tapi pasti bosen banget lihat kamu tiap Sabtu ke wartel buat telponan sama aku"

"HAHAHAHA. Iya, tapi orangnya baik ya. tadi aja Pak Bagoes mau ngasih diskon lima menit kalau kamu yang angkat. Semangat bantuin Tante ya, hati-hati jangan sampai kena minyak panas"

"Dadaa Def! sampai telfon minggu depan ya"

Call Call Call Darling ; jaegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang