M1-35. Tertinggal

Start from the beginning
                                    

"Ada apa ini?!" Tanya Bu Ratini, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni.

Para pegawai kampus di meja resepsionis kompak menggeleng, tak tahu menahu perihal pertikaian yang terjadi di antara Pak Harris dan Tio. Wanita paruh baya itu lantas menatap bawahannya yang masih tersungkur di lantai.

"Bisa tolong jelaskan ini ada masalah apa?" Tanya Bu Ratini setenang mungkin.

Si Harris meringis, darah masih mengucur dari hidungnya. "Saya juga gak tau, Bu! Tiba-tiba anak ini menyerang saya!" Adu si mantan dosen pembimbing, membuat Nina mendengus keras.

Rahang Tio kembali mengeras. Emosinya masih membara. Dia tidak keberatan melayangkan satu pukulan keras lagi agar si dosen menyebalkan tersebut mengingat perbuatan tercelanya. "Perlu gue beberin di sini perbuatan lo, njing?" Geramnya.

Terdengar suara tarikan napas Bu Ratini dan para pegawai yang rata-rata sudah berusia paruh baya juga. Sepertinya mereka syok melihat Tio yang terang-terangan memaki dosen seperti ini.

"Omong kosong apa yang kamu bicarakan? Saya bahkan gak kenal sama kamu!"

Jika saja Nina tidak segera merapat dan memegang lengannya, Tio mungkin sudah menerjang dosen itu. Persetan dengan Dekan yang menyaksikannya.

Nina tentu saja senang apabila Tio menghajar mantan dosennya itu lagi. Namun, ia memikirkan dampak dari keributan ini ke depannya. Walau si Harris bersalah, tetap saja perbuatan Tio bisa dilaporkan sebagai aksi penyerangan. Pasalnya saat Tio menyerang, Harris sedang tidak melakukan kejahatan apapun. Mana lelaki yang lebih tua itu juga memiliki uang. Kalau sampai kasus ini melibatkan aparat hukum dan naik ke meja hijau, mereka yang tak punya uang tentu saja akan kalah.

Demi menghindari hal tersebut, Nina ikhlas si Harris hanya dipukul satu kali. Itu lebih baik daripada harus melihat Tio nanti dilaporkan oleh pria jahat itu.

"Jangan pikir karena orang-orang gak tau perbuatan lo, lo bisa tenang ya, sat!" Caci Tio.

"Bisa jelaskan ini ada masalah apa? Kalo kalian masih bersikeras untuk ribut di sini, ibu akan panggil petugas keamanan," tegas Bu Ratini, menyela percakapan di antara Tio dan Harris.

Tio menoleh, amarah masih terlihat jelas di wajahnya. "Ibu bisa bicara dengan Pak Wira. Kami sudah melapor ke beliau. Saya harap ibu dan petinggi kampus mempertimbangkan kembali keputusan kalian untuk memperkerjakan predator mahasiswi seperti dosen bajingan ini. Jangan sampai ada korban lain lagi nantinya. Kita juga gak tau, sebelum istri saya, siapa korban dia yang lain," tutur Tio.

"Heh! Kamu jangan ngomong sembarangan!" Seru Harris tak terima.

"LO YANG GAK USAH BANYAK BACOT, BANGSAT!"

Nina memeluk lengan Tio erat. Tubuhnya nyaris ikut terseret ke depan saat Tio bergerak maju, ingin mendekati Harris yang bahkan hingga saat ini masih belum bangkit dari jatuhnya dan tetap memegangi hidungnya. "Yo, udah," bisik Nina.

Napas suaminya memburu, wajahnya merah padam. Terlihat dadanya yang naik turun.

"Denger gue baik-baik ya, njing." Suara Tio terdengar rendah dan mematikan. "Sampe lo nyentuh sehelai aja rambut istri gue, jangan salahin gue kalo bukan cuma idung sama muka lo doang yang ancur. Gue pastiin lo bakal liat tangan hina lo itu di bak sampah! Paham lo?!" Ancam Tio.

Setelah mengeluarkan ultimatum tersebut, Tio menarik Nina pergi dari sana. Mereka menembus kerumunan yang mulai ramai menonton pertengkaran mereka tadi dengan sang dosen laknat. Tak perlu diragukan lagi, berita pasti akan segera menyebar ke seantero kampus. Tio tidak peduli dengan citranya lagi. Persetan orang mau bicara apa tentang dirinya. Yang terpenting, Nina tidak akan berurusan dengan keparat laknat macam si Harris lagi. Hanya itu prioritas Tio saat ini.

MATURIBILITY [COMPLETED]Where stories live. Discover now