29. Engagement

58 6 1
                                    

Sabtu yang menyenangkan karena baju buatan ku telah selesai dan sedang di kirim ke Milan, tempat pameran ku besok. Aku tidak pernah menyangka bisa berkolaborasi dengan Angelos Bratis, designer dari brand ternama Vogue. Dengan langkah lunglai, Baskara baru saja masuk ke kamar kami, ia pun menghampiri ku yang sedang duduk di atas kasur sambil membuka twitter. Iya, aku masih menggunakan twitter untuk mengetahui kabar yang sedang beredar di negara asal ku, Indonesia. Banyak hal lucu dan unik yang menjadi trending topik akhir-akhir ini. Tanpa menghiraukan Baskara, pria itu tiba-tiba merebut handphone ku dan menaruh nya di atas meja. Alis ku mengkerut protes. "Aku lagi capek." Ucap pria itu sambil memeluk dan menaruh wajah nya di atas perut ku.

"Me too." Ucap ku.

"Makanya mending kita tidur sebentar sebelum siap-siap ke Milan." Usul nya sambil menatap ku, aku pun menangguk. Benar juga, tidur mungkin akan menjadi pilihan terbaik dalam posisi sekarang ini. Kami membetulkan posisi tidur, aku menatap nya, dia pun begitu, ia menatap ku.

"Hampir satu tahun kita tinggal bareng..." Aku menyentuh pipi nya, ku mainkan ibu jari ku di alis nya yang tertata rapih. "Kita juga udah cukup berumur, apa kamu gak pernah terpikir buat tidur sama aku?" Tanya ku penasaran. Mata Baskara yang tertutup mulai terbuka perlahan.

"Kita orang Indonesia." Ucap nya mengingatkan. Kami bertatapan.

"Aku udah berumur, gak apa-apa Bas..." Ucap ku tanpa ragu. Yap! Akhir-akhir ini aku iri dengan tiap obrolan yang ku dengar dari teman-teman ku. Pergaulan di sini membawa ku ingin terbawa arus yang ada, sex bukan hal tabu di sini, toh keluarga kami sama-sama tahu kalau kami telah tinggal bersama. Baskara tertawa renyah.

"Kucing bisa berubah jadi singa kalau dapat umpan loh Sar." Ucap nya mengingatkan. Aku mengangguk seolah-olah aku menginginkannya. Aku umpannya, entah hormon apa yang sedang menguasai ku? Tapi aku memang menginginkannya, ingin, penasaran.

"Gak apa-apa." Ucap ku sementara Baskara mendekatkan wajahnya ke arah ku.

"Aku beli pengaman dulu." Ucapnya seraya mengecup ku. Kini giliran aku yang tertawa, pria mana yang tidak punya alat kontrasepsi di usia yang hampir kepala tiga? Hanya Baskara.

-

Malam itu adegan panas jalan dengan mulus di kamar kami, ku rasa tidak perlu diceritakan, ini terlalu pribadi untuk dibagikan. Yang terpenting, pada akhirnya pameran busana ku berjalan dengan lancar, penjualan melejit dan aku mendapatkan banyak tawaran kerja di perusahaan mode ternama. Baskara berdiri di samping ku sambil mengusap bahu ku hangat, kami berbincang sebentar dengan Guilio Alexandro pengusaha kaya dari Turki. Ia menyukai salah satu baju buatan ku dan menawarnya dengan harga yang cukup fantastis. Setelah pria berturban itu pergi, Baskara membisikan sesuatu ke telinga ku.

"Kita nikah yuk!" Mata ku membelalak, tangan ku otomatis mencubit pinggang nya. "Sakit! Sakit!" Keluhnya dengan badan menggeliat menjauh dari jangkauan ku.

"Gak romantis banget... ngajak nikah tuh harusnya ada cincin, bouquet bunga, gitu!" Protes ku dengan kedua alis yang saling bertautan.

"Fairy tale banget kalau kaya gitu. Males gak sih hidup dengan gaya internasional? Kita lamaran ala pribumi aja di Indonesia, pengajian, lamaran di hotel mana gitu, mau gak?" Tawar Baskara yang aku sendiri pun tidak tahu apakah ini serius atau tidak.

"Boleh... boleh. Berarti aku pakai kebaya, kamu pakai batik?" Baskara mengangguk menjawab pertanyaan ku. "Ini serius gak sih?" Tanya ku lagi.

"Serius." Jawabnya tegas. "Tinggal kamu nya aja mau apa enggak?" Tanya Baskara sambil mengusap kepala ku.

"Ya masa dijawab di sini... nanti gak surprise." Sikut ku menabrak pinggang nya. "Kapan kira-kira kita pulang ke Indonesia?" Tanya ku mengalihkan topik yang masih selaras. Baskara berpikir sejenak.

Dear My Last, Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz