First 5 Minutes

1.1K 174 15
                                    

Tsukishima berjalan keluar dari stasiun. Bergabung di depan pintu masuk bersama para penumpang lainnya yang sibuk menatap layar ponsel mereka masing-masing. Di pundaknya tersampir sebuah tas olahraga yang terisi oleh beberapa potong pakaian dan camilan yang entah sejak kapan diselipkan oleh sang kakak.

Sebagian besar barangnya sudah dikirim ke alamat rumah sewaannya yang baru. Sangat bersemangat sampai-sampai kamarnya hanya menjadi sebuah ruangan dengan ranjang, lemari kosong, dan juga meja belajar. Mungkin ketika ia siap, ia akan kembali. Entah kapan itu.

Desiran angin malam musim dingin berhembus menerpa pintu masuk stasiun yang tengah ramai. Refleks ia dan beberapa orang yang sama merasakan, merapatkan mantel mereka. Mungkin sebaiknya ia harus segera mencari tempat yang lebih hangat. Menunggu diluar ketika dingin dan setelah badai adalah hal paling bodoh.

"HATCHI!"

Suara bersin kencang mengagetkan sebagian besar orang yang ada disana, termasuk Tsukishima. Meskipun embun mulai menutupi sebagian besar penglihatannya, Tsukishima yakin bahwa yang-tidak-sopan-bersin-tanpa-mau-menutup-mulutnya adalah lelaki yang sama yang menyenggolnya di peron tadi.

Oh, ternyata do'aku menjadi nyata. Sebentar lagi dia akan mati membeku.

Sifatnya yang senang sekali melihat orang lain kesulitan -ditambah orang itu adalah lelaki berjaket olahraga merah yang menyebalkan, membuat dia sengaja berjalan melewati lelaki itu. Meskipun harus berdesakan, setidaknya biarkan dia menyenggol lelaki itu sekali saja.

"Ya, mungkin aku akan menunggu di restoran cepat saji saja, diluar begitu-"

Belum sempat lelaki itu menyelesaikan pembicaraannya, Tsukishima datang dan menyenggolnya dengan sengaja. Bersyukur Tsukishima sudah sering menjahili Hinata, sehingga gerakannya terlihat begitu alami.

"Ah, maaf."

"Hey! Bukankah sedikit tidak sopan meminta maaf tanpa melihat wajah orang yang sudah kau buat susah?" kalimat lelaki itu berhasil menggelitik Tsukishima. Ia berhenti berjalan dan berbalik menatap datar pada lelaki itu.

Baru ia sadari bahwa lelaki itu memiliki gaya rambut aneh yang membuatnya terlihat runcing di segala sisi. Apakah efek dingin jadi kaku seperti itu? Pikir Tsukishima.

"Kau harusnya mengatakan maaf dengan cara yang lebih baik," ujar lelaki itu, "kulihat kau tidak sedang terburu-buru."

"Hee... Mau mengajariku sopan santun tanpa berkaca lebih dahulu," Tsukishima menunjukan senyuman miring tipis andalannya, "bukankah itu lebih tidak sopan?"

"A-apa-apaan kau ini?"

Senyumannya berlangsung singkat. Segera ia memasang wajah datar dan kesalnya. Ia kembali berbalik dan menghembuskan nafasnya lega. Rasanya begitu nikmat ketika berhasil membuat orang lain kesal.

***

Ponselnya benar-benar tidak bisa menyala. Sialnya lagi tidak ada gerai ponsel yang buka selarut ini. Antrian panjang terlihat mengular di setiap telepon umum, melihatnya saja membuat Tsukishima malas bukan main. Ditambah beberapa penginapan murah sudah menggantung keras bertuliskan permohonan maaf karena tidak ada ruang tersisa.

Tsukishima berakhir dengan duduk di dalam minimarket 24 jam dengan segelas kopi yang masih mengepulkan asap. Sebenarnya ia tidak terlalu menyukai rasa pahit dari kopi. Jika mau ia bisa membeli susu stroberi kesukaannya, tapi ingatannya kembali ke hari dimana ia harus menopang tubuhnya dan bersandar pada mesin penjual otomatis sialan itu.

Pilihannya adalah menetap di minimarket atau menghamburkan uangnya untuk menyewa kamar hotel. Mengingat bahwa mungkin beberapa jam lagi stasiun kembali beroperasi membuatnya membulatkan tekad untuk menetap di minimarket itu.

Ia memainkan ponselnya yang hanya menunjukan warna hitam. Mungkin, jika saja ia tidak menolak tawaran sang kakak untuk mengantarnya, ia bisa kembali ke rumah dan tidur di atas kasur hangat. Atau jika saja ponselnya tidak terinjak, maka ia bisa mencari penginapan murah dengan cepat.

Semuanya salah si lelaki berambut runcing itu. Menyebalkan sekali harus mengingat kejadian paling sial yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 1 jam ini. Bertemu dengan lelaki itu adalah sebuah kutukan. Di hari terakhirnya di kota ini, kenapa harus di tutup dengan bertemu si rambut durian itu.

"Ponselmu bisa remuk, loh," suara monoton dengan nada rendah. Tsukishima mengangkat wajahnya yang tertunduk dan menatap sang hantu pikiran yang kini dengan santainya menyesap kopi.

"Kenapa kau duduk disini?" tanya Tsukishima masih tenang.

"Karena kursi lain penuh," jawabnya singkat.

"Lalu? Kau memutuskan untuk duduk disini?"

"Iya."

"Kita bahkan tidak saling kenal."

"Kuroo Tetsurou, kita sudah saling kenal," jawaban cepat dan singkat dari lelaki itu membuat Tsukishima semakin kesal. "Jangan berpikir untuk pergi dari sini, sudah tidak ada lagi tempat gratis untuk berteduh."

Tsukishima melihat keluar jendela. Jalanan sudah sepi dan beberapa toko sudah tutup. Sepertinya badai memang banyak membawa dampak buruk. Tumpukan salju di jalanan cukup tebal untuk membuat beberapa mobil slip, dan es tipis di pinggiran jalan adalah musuh terbesar pejalan kaki.

Ia menghela nafas berat dan kembali menyandarkan punggungnya. Lalu menutup matanya mencoba untuk menghiraukan sosok lelaki yang sekarang sibuk menyesap kopinya sedikit demi sedikit. Dia pikir lelaki bernama Kuroo ini terlihat seperti kucing yang tidak bisa meminum sesuatu yang terlalu panas. Dan ia pikir itu lucu.

"Hei aku belum tahu namamu," ujar Kuroo. Merasa diabaikan ia melihat tas olahraga yang ada di bawah meja. Ia menariknya dan melihat kolom kartu nama di sampingnya. "Tsukishima... Hotaru?"

"Kei!" ralat Tsukishima tegas. Tidak aneh mendengar orang-orang salah pengucapan nama belakangnya.

"Kupikir kau tertidur," cepat-cepat Kuroo mengembalikan tas itu ke posisi semula. "Jadi, Tsukishima-san, kau berniat pergi ke Tokyo?"

Tsukishima tidak menjawab. Terlalu malas untuk menjawab basa-basi dari orang aneh itu.

"Urbanisasi memang sulit dihindari ya," ia menyesap kopinya sedikit. "Dibandingkan dengan Tokyo aku memilih untuk tinggal disini, udaranya masih bagus dan tidak terlalu bising."

Kuroo diam sejenak. Ia memainkan ponselnya dan mengetik beberapa kalimat untuk akhirnya ia kirimkan ke kontak bernama "Kenma". Jemarinya mulai membeku, berkali-kali dia menangkup cangkir kertas berisi kopi panas itu, tapi nihil. Ia masih kedinginan.

"Aku juga berasal dari Tokyo," ia kembali menyesap kopinya. "Kau pergi sendirian? Kenapa? Memang ingin mencari pengalaman? Penasaran? Atau mungkin kau punya trauma di kota ini?"

"Bisa kau diam? Aku berusaha untuk tidur." Bohong, Tsukishima bahkan tidak bisa menenangkan pikirannya. Mendengarkan rentetan pertanyaan menyebalkan dari mulut orang yang sudah membawa kesusahan di malamnya ini, membuat ia berpikir untuk lebih baik menyewa satu kamar hotel paling murah saja.

"Kau harusnya tidak boleh tertidur, bisa saja ada orang yang mencuri barangmu," Kuroo memberi jeda, "Harusnya kau lebih waspada. Bagaimana jika aku tidak ada disini, bisa-bisa tasmu sudah dicuri."

"Kau tahu? Ini adalah 5 menit paling menyebalkan yang pernah kurasakan dalam hidupku," Tsukishima menarik nafas, "ya, aku tahu siapa namamu, terima kasih pula dengan nasihatmu. Tapi kau tahu, kau terlalu menyebalkan untuk didengar."

Tsukishima beranjak dengan langkah cepat dan lebarnya. Ia memilih untuk mencari tempat lain yang lebih sunyi. Lebih nyaman dengan tidak adanya lelaki bernama Kuroo tersebut.

Entah apa yang membuat Tsukishima mengatakan hal sekasar itu. Mungkin ketika Kuroo mulai menyinggung alasan mengapa ia meninggalkan kota kelahirannya itu. Jika bisa ia akan memilih untuk menetap dan melanjutkan hidupnya di tempat ini.

Tetapi sesak rasanya jika harus berbagi tempat yang sama dengan seseorang yang sudah menghancurkan hatimu bahkan tanpa orang itu ketahui. Ia hanya tak mau berpura-pura, tersenyum padahal matanya sudah panas menahan tangis. Ia hanya tak mau menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang ia kagumi memilih orang lain, dan meninggalkannya.

***


About Last Night (KuroTsuki Haikyuu Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang