Hiraeth

1.8K 135 26
                                    







Genre: minor angst, romance, drama

Hiraeth (n); perasaan rindu terhadap rumah yang tak bisa kita kunjungi




Rintik hujan mulai turun, seiring gelapnya langit. Bau petrichor menyapa penciuman, membuat siapapun yang menciumnya merasa tenang dan rileks. Jalanan basah diguyur hujan yang semakin deras, dan angin dingin berhembus kencang. Jaemin menutup jendela kamar rumahnya untuk mencegah angin masuk. Musim gugur sedikit lagi akan datang, hawa dingin bisa ia rasakan di penghujung bulan ini.

Pemuda itu menyalakan room heater, kemudian melangkah pergi keluar untuk menyeduh secangkir kopi panas. Tak banyak yang pemuda itu lakukan di dalam rumah, selama hujan serta waktu senggang menyapa. Hanya bergelung malas dalam selimut, ditemani gawai pintar yang memutar berbagai musik di dalamnya. Me time yang selalu ia lakukan terus menerus sebatas itu, terkadang berusaha menulis, melanjutkan naskah buku karangannya yang belum usai.

Padahal waktu deadline sebentar lagi, dan yang ia lakukan selalu menghabiskan waktu tanpa berbuat sesuatu yang berguna.

Ya, Jaemin melakoni pekerjaannya sebagai penulis/pengarang. Sudah tiga tahun sejak namanya merebak di publik bagaikan pandemi. Sebuah buku yang berjudul; Epoch, laku keras terjual di pasaran. Seminggu setelah buku itu terbit, ketenaran mengangkatnya. Mereka yang membaca mengakui isinya luar biasa, dan ineffable. Agak hiperbola mungkin, tetapi rata – rata remaja mengaku benda itu sangatlah menarik.

Kini pria berusia dua puluh tahun itu harus memenuhi permintaan para penggemar, dari kelanjutan cerita buku karangan pertamanya. Tak sedikit yang menyuarakan harapan itu, bahkan di internet selalu ada saja yang mencuit untuk segera merilis karya tulisannya.

Jika saja mereka tahu menulis tak semudah yang mereka bayangkan, layaknya seolah membalik telapak tangan.

Pikirannya selalu saja melayang di saat – saat menulis, membuat minat yang ia bangun selalu kabur.

Tangan pria tersebut menggenggam ceret berisi air panas, sambil memutar otak usaha menemukan ide. Maniknya fokus pada cangkir berisi bubuk kopi yang siap diseduh, dengan sendok teh yang bertengger manis di piring kecil sebagai alas.

Terkadang butuh ber jam – jam, hanya untuk mendapatkan secuil ide dari otaknya. Akhir – akhir ini pikirannya sedang tak baik. Tak bisa bekerja sama lebih tepatnya. Bahkan semalam ia tak tidur hanya untuk menyelesaikan naskah sialan itu. Kantung hitam di bawah matanya bisa saja dibilang sebagai bukti, jika ia hanya memelototi laptop di atas meja kerja.

Langkah kakinya dia bawa kembali menuju kamar. Lantai marmer yang mencium alas kakinya terlihat memantulkan cahaya lampu beserta interior langit - langit. Dan lorong dengan warna cream yang ia lalui terkadang terdapat lukisan ataupun potret yang bisa membuatnya tak bisa menahan senyum.

Tetapi hanya satu yang membuatnya berhasil terpaku. Salah satu potret di tengah lorong persis menghadap pintu kamarnya. Jaraknya hanya beberapa sentimeter sebelum jendela, dan terlihat lebih sederhana. Potret yang lain kebanyakan memakai bingkai emas, tetapi yang satu itu terlihat berbeda dengan bingkai kayu klasiknya.

Terlihat foto dua pemuda dengan senyuman. Ia hafal, karena setiap hendak melenggang pergi atau pun masuk ke kamarnya, Jaemin selalu menilik potret itu sebelum berlalu. Di sebelah kiri adalah dirinya, versi remaja. Berdampingan dengan seorang pemuda manis yang matanya melengkung indah seperti senyumannya, tengah memeluk kucing jenis Scottish Fold berwarna candrawama.

Ia terkekeh kecil karena ingat, si pemuda manis dengan mata bulan itu bersin – bersin setelah dipotret. Terlalu keras kepala mengajak kucingnya berfoto, walau sudah dimarahi berkali – kali olehnya.

𝘀𝘁𝗼𝗿𝘆 𝗼𝗳 𝘂𝘀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang