One

1 0 0
                                    

Aku lelah dengan semua ini. Kantukku kembali menyerang namun diriku masih enggan melakukannya. Aku benci apa itu 'alam mimpi'.

Banyak orang bilang bahwa di alam mimpilah keinginan mereka akan terwujud.

Ada juga yang bilang bahwa mimpi merupakan ramalan atau firasat.

Aku sangat tidak berharap bahwa opsi kedua jatuh menimpa diriku. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur.

Tujuh jam berlalu begitu cepat telah kuhabiskan untuk menyelami pikiranku yang diisi dengan seorang gadis yang berdiri dan menoleh padaku di balkon kamarku.

Ya, ia masih setia berdiri di sana.

Aku curiga, istilah 'doppelganger' yang sering kubaca di komik-komik Korea itu benar-benar ada. Kami berdua sangat amat mirip, bahkan persis satu sama lain. Hanya saja ada satu hal yang menjadi perbedaan antara aku dan dirinya.

Dia tak memiliki mata, aku tahu itu.



Bagian matanya tampak kosong dan gelap, menjadikanku tak berani menatapnya tepat di matanya.

Ketika ia menampakkan diri di hadapanku, ia akan memakai baju yang sama dengan diriku mulai atas sampai bawah. Sampai-sampai aku tidak bisa menemukan perbedaan di antara kami.

Dia memang sering muncul di hadapanku 3 tahun belakangan, semenjak ibuku, Marria Cromwell, meninggal dunia dengan keadaan tak wajar. Bahkan hingga kini, tidak seorangpun tau apa penyebab kematian ibuku.

Meskipun sering bertemu, kita tidak pernah berkomunikasi satu sama lain. Keberanianku masih belum cukup untukku mencoba mengajaknya berbicara. Ia memandangiku setiap malam atau datang tiba-tiba di suatu tempat di mana aku berada. Rautnya sangat datar sehingga aku tak tahu apa tujuan dia mengunjungiku terus menerus.

Jujur, ia membuatku ketakutan.

Aku beranjak dari ranjangku. Langkah kakiku membawaku menuju ke arah di dapur. Tak kusangka menyelami pikiran diri sendiri itu lebih melelahkan ketimbang menyelami samudera terluas di dunia. Itu membuatku menjadi haus.

Namun, aku tak peduli dengan gelas kacaku yang pecah dan melukai punggung kakiku ketika tiba-tiba ada suara teriakan adikku dari arah belakang, yang aku tahu hanya aku harus menghentikan apa yang telah adikku perbuat di halaman belakang sana.

Aku menemukan figur adikku dengan 3 mayat kucing dan 2 mayat tikus tergeletak mengenaskan di hadapannya. Di genggamannya sudah ada kucing hidup yang ia cekik menggunakan satu tangan, dan tangan yang lain menggenggam pecahan kaca erat-erat, membuat darah segar dari tangannya mengalir deras.

Tanpa berpikir panjang, aku mendekap tubuh adikku, memeluknya sangat erat dari belakang dengan menarik tubuhnya ke belakang yang membuat ia melepaskan cekikannya dari leher kucing tak berdosa itu. Kucing itu langsung lari terbirit-birit entah kemana. Seakan berterima kasih untuk penyelamatan dari malaikan maut, kucing itu sempat menoleh padaku sebelum kabur.

"Hentikan! Kumohon hentikan! Kau seharusnya tidak seperti ini, Alex! Jangan sakiti mereka, mereka tidak tau apa-apa!" Air mataku mengalir keluar. Tak kuat melihat wajah adikku yang terdapat bercak darah yang kuyakin sumbernya berasal dari hewan polos yang tergeletak di atas rumput itu.

"Jack! Jack Meinham!"

Nama itu. Nama itu yang selalu keluar dari mulut adikku ketika ia sedang melakukan kebiasaan buruknya, semenjak 3 tahun yang lalu setelah kejadian itu berlangsung. Aku selalu mendengar nama itu dari mulut adikku setiap hari, tapi...

Aku tak pernah tahu siapa itu Jack Meinham. Dari marganya saja aku tidak tau siapa pemilik nama itu.

"Apa? Kenapa? Siapa dia?"

"Kau tidak tahu Lucci! Dia yang melakukannya! Teman-temanku melihatnya!"

"Cukup kau menceritakan tentang teman-teman hayalanmu itu di hadapanku!"

Tak ada jawaban. Tubuhnya langsung melemas dan meringkuk dengan menekuk lututnya digunakan sebagai tumpuan kedua tangannya. Ia menenggelamkan wajah polos penuh darahnya di kedua lengannya yang ditumpuk di atas lutut kurusnya. Sebenarnya aku tau arah pembicaraannya. Aku tak tega melihat adikku sehancur ini. Kudekap dia agar kesedihannya terbagi juga padaku. Aku tau kami ini adalah anak yang sudah dewasa, tetapi entah mengapa kami masih belum bisa keluar dari selimut kesedihan ini dengan mudah.

Adikku mengidap gangguan mental semenjak kejadian itu. Ia mengaku, ia dapat melihat teman-teman hayalannya yang hanya bisa dilihat oleh beberapa orang saja. Banyak orang menyebut mereka 'hantu'. Aku tak kuasa melihatnya sangat tertekan dengan hal ini. Namun, apa yang harus kulakukan?

Yang bisa kulakukan hanyalah selalu berada di sampingnya ketika ia sedang berada di puncaknya seperti saat ini.

Di saat seperti ini, aku menangkap sesosok makhluk itu lagi jauh di belakang adikku.

Dan lihat!

Ia sedang menatapku dengan menangis terisak sepertiku.

××××

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When I Look BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang