••

388 50 0
                                    

"Abang,"

Tahun ke tiga semenjak kejadian di pagi menyesakkan. Ragaza hidup seperti biasanya. Memakai topeng menyenangkan yang anggota keluarganya tau tanpa cacat dalam peran. Tertawa bersama Riri— anjing yang mirip kemoceng hadiah dari sepupunya di tengah taman rumah dengan lebar sepuluh kali empat belas. Bagi teman Radala— kakak laki-laki Ragaza, mungkin ia terlihat kekanakan di usia yang menginjak angka dua puluh satu. Tapi bagi Radala Seokjin seorang, akan aneh jika tidak melihat adiknya menjerit hanya karena tersandung kaki meja atau telinganya di gigit oleh Riri barang sehari saja.

Tapi namanya abang, mau secerdas apapun sang adik menutupi. Seacuh apapun Dala pada Gaza, pemuda tinggi berbahu lebar itu tau bahwa sesuatu tengah mengganggu adiknya. Menutup laptopnya cepat dan berjalan mengikuti Gaza yang merebahkan dirinya di tempat tidur.

"Abang," di jawab tatapan bertanya, "kalau gue lanjut S2 di Kanada, gimana?" Hal itu tentu membuat Dala mengangkat alis tinggi heran. "Gue mau lanjutin Arsi disana, sambil ikut kelas tari kontemporer juga. Gimana?"

"Lo yakin, Ja?"

"Kenapa enggak?" Dala hanya mengendik, mengangguk, dan memberi jeda untuk berpikir.

Sedikit banyak, 15 tahun hidup bersama Dala membuat Gaza paham bahwa kakaknya adalah orang terealistis untuk mengambil langkah. Meski mereka sempat terpisah sebab Dala yang mengambil study Arkeolog di Yunani, keduanya tetap memiliki bonding yang erat.

"Pertama, lo baru lulus S1 dua bulan lalu. Otak lo gak capek?"

"Enggak, tuh. Gue suka belajar,"

Okay? Bisa di terima.

"Kedua, Ja, Kanada itu jauh. Tiga belas ribu tujuh ratus tiga puluh lima kilometer dari Jakarta. Kalau lo sakit, lo kangen abang lo, lo kangen bunda atau ayah, lo naik pesawat pun gak bakal sampe dua jam. Yang ada lo nangis di atas awan."

"Abang kalau lo lupa gue 21 tahun sekarang?"

"Ngejamim home sick lo?"

Diam. Gaza total ceming.

"Ya, gak tau? Gue belum coba?"

"Bocah," Dala memutar matanya gemas, "ke Kanada sendiri, hidup sendiri, belajar dan ikut kelas tari sendiri itu bukan coba-coba, ya. Lo mesti yakin, Ja. Walaupun gue bakal selalu bantu perihal materi—"

"Abang, gue niatnya mau kerja juga disana."

"Gak gue izinin." Sergah Dala cepat yang mendapat protesan mata membelalak dari Gaza. "Lo ke Kanada juga buat belajar, bukan cari duit. Gue, ayah, bunda masih tajir melintir begini, nyet. Ngapain lo kerja?"

"Bukan gitu—"

"Paham, Ragaja—"

"Ragaza." Koreksi.

"Paham, Ragaza. Tapi, kan lo disana buat kuliah? Buat belajar? Lo udah kuliah capek-capek, ambil kelas tari juga, terus mau kerja? Lo tidur kapan? Riskan, Ja. Kalau lo sakit disana gimana? Emang lo bisa jalan sendiri ke rumah sakit? Mending kalau masih sadar bisa hubungin teman, kalau ternyata lo pingsan di tempat? Emang kita orang disini tau?"

"Abang,"

"Apa?"

"Gue cuma mau bantu?" Ucapnya mencebikkan mulut sambil berguling tengkurap. "Gue ngerasa useless aja gak punya penghasilan kaya lo."

"Lah lo ngapain comparing ke gue? Beda, Ja. Gue sama lo juga lahirnya duluan gue. Perjuangan gue tiga tahun lebih awal dari lo. Dulu juga gue sama kaya lo, ngeliat ayah sama bunda sibuk kerja cari duit buat biaya kuliah kita. Tapi pas gue tanya mereka kalau gue ngebebanin atau enggak, mereka bilang apa coba?"

Bitter BerryUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum