#22. Dihianatin Diri Sendiri

18 4 0
                                    

"
Perlahan dan semakin ke sini perasaan ini sulit sekali ditebak. Entah apa maunya. Ingin berkata jujur sejujurnya dengan diri sendiri, tapi apalah aku seorang pecundang yang hanya bisa memendam dan membiarkan perasaannya tenggelam dengan rasa usang.
"

Perkiraan hampir dua bulan Rio berada di Lampung. Pria itu belum ada niatan sama sekali kembali ke Jogjakarta. Ia masih ingin bersama dua gadis yang selalu ia jaga sejak kecil itu. Ya, Maria dan Wina.

Sekolah pun sudah mau libur. Tetapi, Rio masih saja santai seperti anak sultan yang tidak perlu memikirkan masa depan karena masa depannya sudah terjamin. Selama hampir dua bulan itu Rio tidak masuk kuliah. Hanya sesekali mengikuti absen online.

Dan yang membingungkan pikiran Maria adalah, janji Bu Tini yang ingin mencarikan kos pria untuk Rio tidak kunjung ada kabar. Mau tidak mau Rio berada di kosan Maria dan Wina.

Harus sampai kapan lagi Maria menghadapi dua manusia dihadapannya yang selalu saja ribut. Selalu bertengkar hanya karena hal sepele.

Maria memandangi Wina dan Rio bergantian. Memperhatikan mereka yang sedang adu sendok di piring yang berisi satu lembar telur dadar.

"Masih mau rebutan, atau gue ambil telurnya!" ancam Maria dengan suara pelan, namun menusuk.

"Gue cuma mau telur, Ria. Dia udah ngabisin mie goreng." Rio membela diri.

"Gue juga kan mau telurnya. Emang lo doang yang doyan," balas Wina tidak mau kalah.

"Tapi lo rakus!" Hardik Rio.

"Gue nggak rakus," kesal Wina.

Sendok Maria bertubrukan dengan piring sehinga menciptakan suara. Tidak terlalu kencang, karena Maria memang melakukannya tidak sekuat tenaga. Namun, berhasil membuat Wina dan  Rio berhenti dari pertarungan sengitnya.

"Berisik lo berdua!" Kesal Maria. "Mau sampai kapan berantem mulu? Mau sampai lo berdua punya anak?"

"Idih, males banget gue punya anak berdua sama dia," sanggah Wina dengan cepat.

"Diem aja lo," sewot Rio.

"Kalo udah beres ayo berangkat sekolah." Maria mengajak Wina sembari membawa piring bekas sarapannya.

Wina hanya mengangguk singkat. Ia pun membereskan piringnya. Sesekali menatap Rio yang masih sibuk makan. "Rakus," batin Wina.

"Kenapa lo liat gue kayak gitu? Lo suka sama gue kan? Ngaku aja!" Paksa Rio dengan percaya dirinya.

"Beresin piring lo kalo emang udah selesai makannya."

"Bilang aja sih kalo suka sama gue!" Paksa Rio sekali lagi.

"Beresin piring lo! Nggak usah disuruh terus. Udah tua!" Kesal Wina.

"Iya entar gue beresin," ucap Rio mengalah. "Bilang aja sih kalo lo suka sama gue. Nggak papa, nggak ada yang larang."

"Tingkat percaya diri lo tinggi banget ternyata," sinis Wina. Ia pun segera berlalu untuk menaruh piringnya.

"BERISIK!!!" Teriak Maria dari dapur.

Maria susah siap dengan sepedanya. Namun ia masih menunggu Wina yang sedang memakai sepatu.

Kemunginan setelah libur semester Maria ingin pindah sekolah ke Jogja. Ia ingin kembali lagi ke Kota asalnya. Entah, tiba-tiba ia ingin kembali ke Jogja. Mungkin karena di sana Ada Rio. Atau karena ada sesuatu yang lain? Maria segera menggeleng-gelengkan kepalanya. Menyadarkan pikirannya. Ia pun tidak tahu kenapa berpikir seperti yang baru saja ia pikirkan.

SISA HUJANWhere stories live. Discover now