7. Penyesalan itu datangnya di Belakang

Start from the beginning
                                    

"Kenapa kamu kukuh tidak ingin menikah dengan saya? Padahal kalau kamu mau, saya tidak keberatan sama sekali. Saya senang bisa membantu perekonomian keluarga kamu. Saya juga bisa merasa aman. Karena semenjak menjadi duda, banyak sekali orang tidak tulus yang terang-terangan ingin mendekati saya".

"Saya juga bukan orang yang tulus. Kalau saya akhirnya mau menikah dengan bapak, semata-mata hanya karena agar keluarga saya tidak mengalami kesulitan finansial lagi. Bukannya itu akan sama saja?"

"Mungkin kamu memang mengharapkan imbalan dari saya. Tapi saya tahu jelas kalau kamu tidak akan pernah berkhianat".

"Asumsi dari mana itu pak? Jelas saja kemungkinan saya akan berpaling kepada pria yang lebih muda dari bapak itu ada setelah saya berhasil menguras kekayaan bapak". Ucapku disertai tawa sinis.

"Kalau kamu memang tipe pengkhianat, harusnya sudah kamu lakukan sejak lama. Tidak perlu menunggu sampai jadi istri saya. Toh, lebih sering kamu yang berada di rumah daripada saya. Benda berharga banyak di sana. Perhiasaan Arini pun tidak pernah berpindah tempat. Ashira jelas bisa kamu kelabui dengan mudah. Tapi apa? Kamu bahkan tidak berani memasuki wilayah pribadi kami kalau belum mendapat izin".

Aku tidak bisa mengelak lagi. Semua yang diucapkan Pak Harun memang benar. Jangankan niat untuk mencuri, kalau sedang berada di rumah sendirian saja terkadang aku malah merasa tidak nyaman. Takut terjadi sesuatu yang nantinya malah akan menimbulkan fitnah untukku.

"Maaf pak. Saya tetap pada keputusan saya. Tapi saya mohon sama bapak, tolong tetap izinkan saya untuk bekerja meskipun tidak lagi tinggal". Aku mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada sambil menatap Pak Harun dengan penuh permohonan.

"Ya sudah jika memang itu sudah menjadi keputusan yang terbaik menurut kamu". Ucap Pak Harun sambil mendesah pasrah.

Setelah perbincangan alot kami, akhirnya aku dan Pak Harun sama-sama meninggalkan taman dan kembali ke ruang inap ayah. Aku membuka pintu dengan perlahan, kemudian terlihat ibu yang langsung melihat ke arah pintu saat suara decitan terdengar.

"Bu...aku mau bicara sesuatu. Bisa kita keluar dulu? Mumpung ayah masih tidur". ucapku pelan. Ibu menganggukan kepala. Pak Harun pun turut serta keluar dengan aku dan ibu.

"Di sini saja". Pak Harun berkata sambil menunjuk ke arah deretan kursi yang berada di depan pintu ruang inap ayah.

Kami terdiam setelah duduk di tempat masing-masing. Aku mengambil dan menghembuskan napas panjang dua kali sebelum memulai pembicaraan. Kemudian ku tatap ibu yang sudah terlihat tidak sabar.

"Aku tetap tidak bisa menikah dengan Pak Harun bu". Akhirnya kalimat itu berhasil keluar dari mulutku.

"A-apa?" ibu memegang dadanya dengan napas yang tersengal-tersengal. Aku langsung memeluk tubuh ibu yang sudah mengeluarkan keringat dingin, sedangkan Pak Harun berlari untuk memanggil perawat. Setelah kepergian Pak Harun, ibu langsung jatuh pingsan. Aku mengguncang tubuh ibu berkali-kali, namun ibu tetap tidak memberikan respon.

Tidak lama kemudian Pak Harun datang dengan tiga orang perawat wanita dan seorang pria dengan jas dokter. Mereka datang dari arah UGD dengan membawa sebuah brankar dan langsung membaringkan ibu yang sudah tidak sadarkan diri.

Bersyukur jarak antara ruang inap ayah dengan UGD tidak terlalu jauh. Aku menangis keras sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Sungguh aku sangat menyesal mengatakan hal tersebut dengan begitu gamblangnya.

Ku rasakan bahuku ditepuk dua kali. Aku menjauhkan tangan dari wajah. Pak Harun menatapku dengan penuh perhatian. Persis seperti ketika menenangkan Ashira saat anak itu sedang menangis.

Jangan Dengar MerekaWhere stories live. Discover now