Setelah ke-tujuh kalinya memekik, Dira pun menggeliat. Bibirnya mengerang kecil. Menandakan bahwa perempuan itu sudah bangun meski hanya setengah sadar. Rudi tersenyum miring. Sekali lagi, memekik di telinganya. Dira refleks bangun duduk. Menyingkirkan selimut dari tubuhnya.

"Berisikkk!!" sergah Dira seraya mengelus-elus kedua telinganya. Matanya melotot menatap Paman Rudi.

"Makanya bangun, toh. Udah gede tapi masih aja tidur dibangunin. Gimana mau nikah kalau begitu?!" Rudi seketika menutup mulut begitu sadar telah menyinggung soal pernikahan di depan Dira.

Terjadilah drama subuh hari di rumah mereka. Dira ngotot tidak mau menikah dan tidak mau salat dengan alasan sedang haid. Lalu Rudi membantah dengan kalimat, "Baru seminggu yang lalu kamu bilang datang bulan, masa sekarang datang lagi?" Terang saja Dira tercengang. Hapal banget kapan aku PMS. Ia terheran-heran. Namun Dira tetap bersikukuh mengatakan bahwa itu tidak benar. Sayangnya Rudi punya cukup bukti mematahkan alasannya.

"Paman tahu setelah dengar pembicaraan kamu sama Gugun. Kamu bilang," Paman berdeham. Kemudian meletakkan tangannya di perut, "Gun, perutku sakit banget gara-gara datang bulan. Kamu tahu gak apa obatnya? Yah, pasti gak tahu ya? Kamu kan jantan, mana pernah datang bulan." Rudi sukses menirukan gaya bicara Dira. Menerbitkan senyum di bibir kecil gadis itu.

"Paman bener, kan?"

Dira mengangguk pasrah. "Ya ya ya," sahutnya malas.

"Ya udah. Sana wudu. Paman tunggu. Kita jama'ah di rumah aja."

"Ya ya ya." Dengan langkah yang berat, Dira pun berjalan menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidurnya. Rudi tersenyum mesem-mesem menatapi punggung gadis itu.

"Paman?" panggil Dira. Tiba-tiba kepalanya menyembul dari balik pintu yang sedikit lagi tertutup sempurna.

Rudi yang baru saja hendak keluar dari kamar itu seketika mengurungkan niat. Menoleh ke belakang. Bertanya, "Apa?"

"Kalau Gugun betina, dia bisa haid nggak?"

***


Menjelang siang Dira bangun dari tidur setelah salat Subuh-nya. Beranjak dari peraduan. Tanpa membersihkan wajah dan gosok gigi, ia turun ke lantai satu⸻kamarnya terletak di lantai dua. Gugun langsung mengekorinya menuruni anak tangga. Dira tidak menyapa karena perutnya keroncongan.

Ruang pertama yang Dira incar adalah dapur. Di sanalah dia bisa menemukan makanan buatan Paman Rudi. Mengangkat tudung saji, senyumnya sudah mengembang bahkan sebelum tahu apa isi di balik tudung saji tersebut. Membayangkan makanan enak yang biasa pamannya siapkan membuat rasa gembira di hatinya seketika membuncah.

"Tara ...!" Dira sudah tersenyum selebar mungkin tatkala tudung saji itu terbuka. Namun, senyumnya lantas sirna dalam satu kedipan mata.

"Apaan, nih! Roti doang. Mana kenyang! Emangnya aku orang barat apa?! Paman gimana, sih?!" Gadis itu menatap tak suka pada roti tawar beserta selai coklat di atas meja. Lalu mengambil kertas memo yang berada di antara roti dan selai tersebut.

Selamat pagi, Sayang. Gak sempat masak. Buru-buru ke kantor. Kamu makan ini aja ya. Have a nice day. Jangan lupa senyum.

Dira meringis. Meremas kertas memo lalu membuangnya ke sembarang tempat. Kemudian kembali menatap menu breakfast-nya kali ini. Sebenarnya tidak bisa dibilang breakfast. Lebih tepat kalau disebut makan pagi menjelang siang.

"Have a nice day? Apaan tuh ... Arghh, laper banget lagi," gumamnya. Melirik roti. Sepertinya tidak ada pilihan lain!

Perlahan tangannya menggapai roti tersebut. Hingga pada akhirnya, gadis itu mengoles selai pada roti dengan cepat dan memakannya dengan lahap. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara bel dari rumahnya berbunyi. Dira berdecak sebal. Menelan habis roti yang ada di mulutnya lalu berseru, "Balik aja. Rumah ni gak nerima tamu. Apalagi bangsa manusia!" Wanita itu paling tidak suka kedatangan tamu, oleh sebab itulah rumah yang ia tinggali terletak di ujung desa. Sengaja menyepi dari keramaian.

Sementara itu bel terus berbunyi. Benar-benar mengusik pendengaran Dira hingga mau tak mau berjalan meninggalkan dapur. Membukakan pintu.

"Ha? Cari siapa?" tanya Dira ketus.


Seorang pria berkulit putih sontak terngaga. Wajah kecilnya terlipat-lipat memperhatikan gadis kusut di hadapannya. Benar-benar kusut. Masih pakai baju tidur, rambut berantakan, dan mulut belepotan cairan coklat. Sudah gitu, mulutnya bau pula. Lelaki itu sampai bernapas lewat mulut karena terganggu dengan baunya.

"Hoi, cari siapa?" tegur Dira. Mengangetkan pria itu.

"A ... itu, saya tetangga sebelah baru pindah." Lelaki itu membuang muka sebentar. Mencari oksigen.

"Jadi?" Dira menyorot dingin. Tatapan itu sesaat membuat pria di depannya tertegun.

"Hm, kunci. Kata Om Rudi di telepon, saya disuruh langsung ke sini minta sama keponakannya. Kamu keponakannya, bukan?"

"Bukan," sahut Dira enteng. Tanpa menatap lawan bicaranya. Malah sibuk menjilati susu di sudut bibir. "Saya anaknya," sambungnya. Melirik sebentar pria berwajah baby face di depannya.

Pria itu mengangguk-angguk paham. "Ooh, anaknya. Jadi saya bisa minta kuncinya, kan?"

"Gak ada," ketus Dira. Melemparkan tatapan sinis.

Pria itu memutar bola matanya. "Kata Om Rudi, ada di tempat biasa. Dia tadi pesan begitu, kalau kamu lupa."

"Ya udah." Dira memegang pintu, bersiap masuk kembali ke rumahnya.

"Apanya yang udah?" Bingung pria itu.

"Tunggu aja."

"Loh, tunggu siapa?"

"Papa." Dira bersiap menutup pintu.


Pria itu panik. "Kok gitu, sih?" tanyanya.

"Karena kamu datang pada waktu yang tidak tepat." Benar. Tidak tepat. Mood Dira saat ini sedang buruk. Dia cenderung membuat masalah di saat seperti itu. Tak peduli meski korbannya tidak memiliki dosa apa pun kepadanya.

"Emang pulangnya kapan?"

"Habis Magrib."

"Whattt??!" kaget pria itu.

Dira mendecih. "Gak usah sok nginggris. Ini Indonesia."

"Cuma bilang what doang diprotes," gumamnya pelan.

"Inget ya, tunggu sampe Papa pulang. Jangan coba-coba ketuk pintu rumahku lagi. Apalagi berencana numpang istirahat atau makan siang. Di sini gak nerima tamu manusia, kalau aku tuan penyambutnya." Usai mengeluarkan peringatan bernada sama yang dilontarkan pada semua tamu yang mengusik kesendiriannya, Dira pun melengos pergi. Membanting pintu dengan kasar.


Pria itu terperangah. Dalam benaknya timbul pertanyaan untuk si gadis yang baru saja mengabaikannya. Memangnya makhluk apa dia? Dari tadi nyinggung manusia melulu?

Tak langsung pergi, pria itu menatap pintu utama rumah minimalis bermaterial 45% bambu milik keponakan Rudi. Begitu yang ia tahu, entah keponakan yang mana, ia tidak tahu.

"Masa tunggu sampai Magrib. sih? Yang bener saja," gerutunya. Menunduk sambil menggaruk-garuk dagu yang tak gatal.

Beberapa detik berlalu, pria itu pun menegakkan kembali kepalanya. Lalu mengangkat tangan kanan dengan maksud menekan bel lagi. Namun, saat sebentar lagi bel itu tersentuh, sebuah suara terngiang di telinganya.

"Di sini gak nerima tamu manusia, kalau aku tuan penyambutnya."


"Astagfirullah," refleks pria itu. Seketika batal memencet bel. Menggigit jari dan bergidik ngeri membayangkan makhluk macam apa wanita yang baru saja ditemuinya. Tidak lama kemudian, ia pun meninggalkan rumah itu dengan langkah tergesa-gesa.

"Serem, Mas." Dia langsung mengadu pada seorang laki-laki berkulit kecoklatan. Tampak laki-laki itu tengah duduk bersandar di sofa yang baru saja mereka beli dalam perjalanan menuju rumah baru.


Pria yang dipanggil Mas itu mengerutkan kening. "Apa yang serem?"

"Masa perempuan itu bilang begini, 'di sini gak nerima tamu manusia, kalau aku tuan penyambutnya'. Serem, kan? Masa manusia ngomong begitu sama sesama manusia. Seolah-olah dia itu bukan manusia. Iih, ngeri." Pria itu mengusap-usap lehernya yang mendadak dingin. Lalu duduk di samping kakaknya itu.

Gilang namanya. Dia spontan tertawa geli setelah mendengar penuturan sang adik. "Cantik, gak?" tanyanya setelah tawanya perlahan lenyap.

"Ya, cantik, sih sebenarnya, tapi⸻"

"Mungkin dia bidadari. Bidadari bukan manusia, loh. Hehehe." Gilang tersenyum menggoda.

"Bidadari?" beo adik kandung Gilang yang bernama Fahri. Bola matanya bergerak ke atas. Membayangkan lagi penampilan Dira, seketika ia tertawa sumbang. "Gak mungkin!" bantahnya kemudian. Ekspresinya berubah amat serius. Melihat itu, mendadak senyum di bibir Gilang pun sirna.

"Ya udah, deh, sekarang kuncinya mana?" Gilang mengganti topik pembicaraan.

Fahri menghela berat. "Nah itu, dia nyuruh kita nunggu Om Rudi pulang."

"Kok gitu?" tanya Gilang dengan pembawaannya yang tenang. "Bukannya Om Rudi suruh minta sama keponakannya ya?"

"Entahlah, Mas. Fahri gak ngerti kenapa dia bilang begitu. Anaknya aneh."

"Biar Mas telepon Om Rudi." Gilang pun mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Menghubungi Rudi. Sementara itu, Fahri membayangkan lagi wajah Dira. Tatapan mata yang dingin dari wanita itu, entah kenapa membayang paling jelas di pikirannya.

***


Calon JenazahWhere stories live. Discover now