Prolog

21 3 0
                                    

Hujan menderas. Berisik suaranya seolah menenggelamkan pergolakan batin Gilang Nugrahi Pratama. Pria berusia 38 tahun yang menjadikan warung kopi sebagai tempat ia berteduh. Sekaligus tempat merenungi nasibnya. Entah nasib baik entah buruk, Gilang tidak  ingin menyimpulkan. Dia hanya ingin tahu apakah memberitahu istrinya sesegera mungkin⸻kalau bisa nanti setelah tiba di rumah⸻adalah waktu yang tepat?

Baru satu minggu usia kandungan istrinya. Lantas apa tidak menyakitkan jika memberi kabar yang baru diterimanya dari rumah sakit satu jam silam?

Gilang refleks menggeleng. Dengan tangan bersedekap dan mata terpejam, ia mengembuskan napas berat. Belum bisa membuat keputusan.

“Mas, mau saya tambah kopinya?” Samar terdengar suara seorang lelaki di dekat telinganya. Gilang mendelik. Benar. Pemilik warung kopi itu tengah menawarkan kopi untuk yang ketiga kalinya. Gilang pun menggeleng. Tersenyum. Memukul-mukul perut. Gembung, Pak.

Si empunya warung mengulas senyum. Tidak memaksa. Gilang kembali memejamkan matanya. Lagi-lagi mengembuskan napas berat. Sebenarnya ia berusaha untuk tenang, tapi sebaliknya, kegelisahan justru kian merajalela. Entah apa yang ia takutkan, padahal kain kafan sudah berada di dalam tasnya. Tinggal mempersiapkan kuburan, surat wasiat, dan yang paling penting adalah amal kebajikan. Satu lagi, yang tidak kalah penting ialah: keberanian mengutarakan kejujuran.

Haruskah?

Tiba-tiba notifikasi pesan masuk di smartphone-nya berbunyi. Gilang membuka mata. Satu pesan masuk dari ‘My wife’. Lekas ia membukanya.

[Assalammu’alaikum, Mas? Kejebak hujan ya? Aktifin data dong. Buka aps webtun, cari akun Dilaras lagi, semoga kamu gak bosen. Love you, husband ;)]

Senyum terukir di bibir Gilang. Menampilkan lesung pipit di pipi kanan. Jantungnya berdebar tidak keruan. Empat tahun pernikahan, Gilang tidak bisa menepis rasa bahagianya kala mendapat kata cinta dari sang istri. Meski hanya sebatas pesan, hatinya seketika berbunga-bunga. Apalagi jika sudah bertatap muka. Ya ampun, membayangkan wajah wanita itu membuat Gilang benar-benar ingin segera pulang.

[Iya, Sayang. Mas meluncur ke webtun ya. Love you too.]

Send.

Gilang pun mencari aplikasi webtun di ponselnya. Sayang, sudah tidak ada lagi. Sudah lama sekali nampaknya ia hapus aplikasi membaca komik itu. Demi menyenangkan istri, juga siapa tahu ia senang benaran, maka diunduh kembali aplikasi tersebut. Kemudian mencari akun Dilaras yang dimaksud oleh istrinya.

Judul ‘Calon Jenazah’ terpampang jelas. Gilang mengerutkan kening. Sejurus kemudian matanya terbuka lebar. Ini kan akun lamanya. Menepuk jidat. Siapa yang aktifin lagi?

“Tiga ratus episode?” gumam Gilang. Lelaki itu heran, karena sudah sejak lima tahun yang lalu cerita itu dihapus. Jika sekarang ada lagi, itu artinya ada yang sengaja merilisnya kembali. Bagian paling mengejutkannya lagi adalah ada yang mau menyelesaikan endingnya? Siapa?

Wajah Gilang terlipat. Memikirkan segala macam kemungkinan. Beberapa detik kemudian, pria berkulit kecoklatan itu memilih untuk membaca satu-satunya komik yang pernah ia baca seumur hidupnya.

Pembukaan dimulai dari gambar rintik hujan berjatuhan serta seuntai kalimat yang membuat bulu kuduk Gilang meremang.

Kehilanganmu itu berat. Menghilang darimu adalah khianat. Namun tanpa menyusun rencana untuk pergi dan ditinggal pergi sekali pun, suatu saat nanti kita akan menghilang, bukan? Kita hanya perlu bersiap. Maka jangan pernah pergi sampai waktu itu datang. Kepada siapa pun yang tersayang, tetaplah bertahan hingga titik darah penghabisan.

Gilang tertegun. Perjalanan masa lalu dimulai dari sekarang. Percayalah, kisah itu sungguh nyata.

***

Calon JenazahWhere stories live. Discover now