3. Sunwoo

318 60 5
                                    

Hal pertama yang Sunwoo lihat saat membuka mata adalah langit biru dengan terik matahari yang menyengat kulit. Suara ombak juga terdengar jelas menyapa telinga. Dan saat matanya mengedar, dia hanya menemukan pasir putih halus, laut biru jernih tanpa batas, pohon kelapa dan tanaman lain yang tidak ia ketahui namanya, tebing, juga banyak gazebo kayu berjejer. Jelas sekali kalau ia berada di tepi pantai.

Pertanyan yang sama terus  berputar di otaknya. Seperti kaset rusak.

Ini di mana?

Bukankah tadi dia masih duduk manis di bus yang membawanya ke salah satu pantai di kotanya? Mengingat hari ini ia berangkat study tour dengan teman seangkatan. Apa sudah sampai? Kalaupun iya, ia sama sekali tidak mengenali pantai ini. Tidak ada pantai sebersih ini di kotanya. Lalu, ke mana teman-temannya yang lain? Yang lebih parah, kenapa ia harus tertidur di atas pasir yang panas bukannya di gazebo???

Dia masih berusaha mencerna situasi ketika seorang anak berumur tujuh tahun berlari ke arahnya. Menerjangnya dengan pelukan dan langsung menangis kencang di dadanya. Sunwoo panik. Dan kalimat yang dikeluarkan anak laki-laki tersebut semakin membuatnya panik.

"Ayah kenapa meninggalkan Junyeong? Kemarin kan sudah berjanji akan pergi ke pantai bersama,"

Ayah katanya?! Umur dia bahkan masih 17 tahun dan lagi dia tidak mempunyai seorang kekasih. Bagaimana mungkin dia memiliki anak?

Atau... ini sebtulnya adalah mimpi? Iya, Sunwoo yakin sekali kalau ini hanya mimpi.

"Ayah kenapa bengong? Ayah sakit?" tanyanya dengan suara bergetar. Karena tak kunjung mendapat respon apapun, anak kecil yang menyebut dirinya Junyeong itu kembali menangis keras. "Ibu, Ayah kerasukan Roh Laut!"

Tangisan Junyeong menyadarkannya. Sunwoo sungguh bingung sekarang. Dia tidak mempunyai pengalaman menenangkan orang yang menangis, terlebih anak kecil. Dia anak tunggal dan setiap kumpul keluarga besar tidak satupun anak kecil mendekatinya. Mereka justru menangis keras jika melihat Sunwoo.

Tuhan, aku harus apa sekarang?

Sunwoo dengan canggung memilih memeluk Junyeong. Tangannya dengan kaku mengelus pelan punggung bergetar itu. Namun, tangisannya tetap tidak berhenti. Di tengah kepanikannya itu dia mengingat hal yang selalu dilakukan Ibunya jika ada satu sepupunya yang menangis. Mengucapkan kata-kata penenang.

"Hey, Junyeong. Ayah tidak kerasukan Roh Laut atau roh lainnya. Ayah hanya sedang memikirkan sesuatu,"

Sunwoo merinding sendiri saat mengucapkan kata ayah. Seperti bukan dirinya.

Usahanya berhasi. Kalimatnya yang sama sekali tidak menenangkan itu meredakan tangis Junyeong. Sunwoo bisa bernafas lega sekarang. Ia melonggarkan pelukannya dan menatap wajah Junyeong yang masih sesenggukan. Matanya sedikit membengkak, hidung dan pipi gembilnya memerah serta sisa aliran air mata yang menganak terlihat jelas. Secara reflek, Sunwoo menghapus jejak air mata si kecil dengan pelan.

"Jangan menangis lagi, ya?"

Junyeong mengangguk mengiyakan. Dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Sunwoo dengan tangan yang memeluk leher sang Ayah erat.

"Junyeong tidak menangis," sangkalnya

Sunwoo terkekeh pelan. Kemudian hening mengisi keadaan di sekitar mereka.

Pemuda yang berada di kelas dua SMA itu memilih menikmati suasana yang ada. Sebetulnya keadaan di sini tidak buruk. Pantainya bersih dan terawat, bahkan Sunwoo tidak menemukan satupun sampah. Tidak ada wisatawan, hanya ada beberapa warga lokal yang baru kembali dari melaut atau sekedar mengecek perahu miliknya. Angin juga berhembus lembut membawa bau khas pantai.

Tenang. Satu keadaan yang tidak bisa didapatkan di pantai sekitar kota.

"Ayah, jangan melamun lagi dan ayo pulang sekarang! Junyeong lapar, Ibu pasti sudah memasak makan siang di rumah,"

Suara rengekan Junyeong menyadarkan lamunan Sunwoo. 'Anak'nya tersebut sudah berdiri di depannya entah sejak kapan. Sunwoo ikut bangkit dan segera mengejar langkah Junyeong yang berjalan beberapa meter di depannya sambil bernyanyi riang.

Karena dirasa perjalanan akan lama, Sunwoo mulai memikirkan topik pembicaraan yang tepat untuk mengorek informasi. Ia hanya jaga-jaga, siapa tau saja anak kecil yang menggengam erat tangannya ini hanya sebuah pancingan sebelum akhirnya dia diculik. Kemungkinan terburuknya dia malah akan dijual di perdagangan manusia.

Oke, cukup Sunwoo! Kamu terlalu banyak menonton film.

"Junyeong, boleh Ayah tahu nama lengkapmu?"

Anak laki-laki itu mengerutkan keningnya. "Tentu saja Kim Junyeong."

"Nama ayah?"

"Kim Sunwoo," ia membalas cepat. Ia mulai curiga kalau orang di sampingnya ini bukan ayah kandungnya.

Sunwoo mengangguk paham. Setelah beberapa kali menatap lekat ke wajah sang anak, dia meyadari bahwa Junyeong benar-benar mirip dengan dirinya sewaktu kecil.

Meski Sunwoo tidak pasti, tapi ia yakin bahwa wajah anaknya kelak akan seperti Junyeong.

Suasana yang awalnya sepi perlahan semakin ramai ketika langkah mereka memasuki daerah pemukiman. Warga yang berpapasan dengannya akan dengan senang hati menyapa dengan ramah, Sunwoo membalas tak kalah ramah. Satu-dua orang akan berhenti sejenak untuk mengusak rambut Junyeong atau mencubit pipinya. Anaknya itu akan merengek keras nanti.

"Ibu, Junyeong dan ayah pulang!"

Kim muda itu sudah berlari memasuki rumah. Meninggalkan Sunwoo di ambang pintu rumah. Ia merasa tidak sopan memasuki rumah orang lain, meskipun di dunia ini rumah tersebut miliknya. Sunwoo hanya bingung harus bersikap seperti seperti apa.

"Masuk Sunwoo, kenapa malah berdiam di depan pintu?"

Tunggu, Sunwoo kenal jelas suara ini. Suara milik tetangga berisiknya yang suka makan. Tetangga yang suka menempelinya di mana pun. Tapi, kenapa auranya di sini sungguh berbeda? Dia tampak sangat manis dan kalem, tidak seperti di dunia sebelah.

"Joo Haknyeon?" tanyanya ragu.

"Iya, ini aku Haknyeon. Cepat ke ruang makan sebelum makanannya mendingin."

Ah, tidak sama saja. Haknyeon di sini dan di sana sama-sama suka mengomel. Jadi sebelum Haknyeon kembali mengomel, Sunwoo sudah melesat ke ruang makan. Namun, karena tidak memperhatikan langkahnya dia justru terjatuh dan semuanya menjadi gelap seketika.

***

Sunwoo mengerjapkan matanya berkali-kali sebelum akhirnya kembali memejam karena pusing yang mendera. Ia meringis pelan. Setelah merasa pusingnya berkurang Sunwoo perlahan mendudukan dirinya. Dia ada di kamarnya di dunia yang sesungguhnya.

"Sudah bangun ternyata, baru saja mau kubangun kan,"

Sunwoo menoleh cepat ke arah pintu, menemukan Haknyeon dengan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh hangat.

"Makan dulu, kamu belum makan dari pagi," Sunwoo hanya menurut saat Haknyeon menyuapinya sesendok bubur.

"Nyeon," pangggilan tersebut hanya dibales deheman oleh Haknyeon, "Ini tanggal berapa?"

"13 Mei,"

Mendengar jawaban Haknyeon membuat Sunwoo menghela nafas. Ini masih dua hari dari study tour. Berarti yang tadi hanya mimpi. Sunwoo lega sekarang.

"Kenapa?" Tanya Haknyeon khawatir.

"Tidak, hanya bermimpi aneh."

Haknyeon mengangguk, "Pantas saja, demammu sempat meninggi tadi malam. Parahnya kau terus-terusan mengigau menyebut namaku dan Junyeong. Untung saja pagi ini, demammu sudah turun dan sekarang suhu tubuhmu sudah normal," dia menjelaskan sambil mempoutkan bibir, meski begitu dia tidak berhenti menyuapi Sunwoo bubur tersebut hingga tandas.

"Kalau boleh tahu, siapa Junyeong?"

Mendengar pertanyaan bernada penasaran dan sang tetangga itu membuat Sunwoo tersenyum samar.

"Anak kita di masa depan,"

"Sunwoo bercandamu tidak lucu!!"



20.11.27
Em.teex

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 27, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Buttermilk | The BoyzWhere stories live. Discover now