Sebenarnya Michel belum bisa membicarakannya. Jalan pikirannya masih kalut akibat serangan panik yang menerpanya. Dia hidup, namun jiwanya perlahan hancur dalam kebisuan.

Cowok berjaket merah itu menatap lekat-lekat sepasang mata lelah itu. Dia tampak kesulitan melanjutkan topik pembahasan tentang malapetaka yang telah mengubah Michel menjadi segila ini. Akibatnya Lea menggaruk belakang kepalanya karena bingung.

"Michel, gimana kalau kita cari tempat yang lebih—"

Belum selesai berbicara, tiba-tiba pria berjas cokelat dari pinggir jalan berteriak marah, "Michel! Apa yang kamu lakukan di situ!" Kehadiran Endro membuat Michel dan Lea menoleh. Endro datang dengan raut wajah murka.

"Kak Endro ...."

Gadis itu tertangkap basah masih bertemu dengan Lea. Pria jangkung itu menatap nanar ke arah Michel. "Sudah kubilang untuk menjauhi orang tidak beres kayak dia. Ini ketiga kalinya aku mendapatimu dengannya. Kamu ikut denganku, Michel. Ini perintah," titah Endro dengan suara menggelegar. Untuk pertama kalinya Michel melihat Endro yang biasanya tenang dan murah senyum itu menunjukkan amarahnya.

"Hei, dia ada urusan denganku." Lea memasang badan di depan Michel. Suaranya ikut meninggi. "Jangan maksa, dong, kalau dia sendiri yang mau. Memang kamu siapanya? Ayahnya?"

"Saya dosen PA-nya! Dan saya punya hak untuk mencegah mahasiswa saya jatuh ke tangan orang brengsek dan kotor seperti Anda!"

"Kotor? Kamu kira aku apa? Sampah? Keparat. Sini maju, lawan tuh kayak laki-laki jangan kayak banci gitu!"

Dalam sekejap, Endro menghantam wajah Lea dengan kepalan tangannya. Buku jari Endro berubah memerah, begitu pula pipi Lea yang sebelah kanan. Darah sedikit keluar di sela bibir Lea dan pemuda itu meludahkan cairan merah itu ke tanah. Pukulan keras tadi berhasil memberikan pendarahan yang cukup parah di dalam mulutnya.

Semua orang yang dari tadi menonton kejadian itu dari kejauhan, kaget sekaligus terpukau. Untungnya ada beberapa pemuda yang sigap menghampiri mereka berdua dan mencoba menengahi. Endro mengedarkan pandangannya ke sekitar dan menemukan beberapa mahasiswi yang merekam kejadian itu sehingga pria itu mengurungkan niatnya untuk melayangkan pukulan susulan.

Endro yang tingginya menyamai pemain basket dunia itu, menatap Lea dengan jijik. "Enyah kau sampah masyarakat. Seharusnya kamu membusuk di dalam tahanan." Dengan cepat dia mengalihkan pandangannya. Nada suaranya melembut ketika dia meraih pundak Michel yang letih. "Michel, ayo, saya antar kamu pulang."

Michel spontan mundur dan mendekap dirinya yang gemetar ketakutan."Ti-tidak perlu, Kak. Sa-saya bisa pulang sendiri."

Endro menggelengkan kepala. "Bagaimana sih ... mukamu sudah pucat sekali. Sampai kamu tidak mengenakan sepatu begitu. Kamu harus pulang bersama saya. Tidak ada tapi-tapian." Pergelangan tangan Michel ditarik paksa oleh Endro. Dingin. Seperti bukan orang yang Michel kenal saja.

Apakah seperti ini orang baik yang sedang marah?

Menakutkan.

Michel menoleh ke belakang, melihat Lea yang menatap lurus kepadanya. Ekspresinya tidak bisa dibaca. Pipi kanan Lea memar dan itu semua karena dirinya.

Kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu tidak melawan balik? Michel berteriak dalam batin sebab mulutnya tidak bisa dia gerakan sebagaimana mestinya.

Gadis yang tidak berdaya itu dibawa ke mobil Endro yang diparkir di pinggir jalan. Terlihat sekali kendaraan itu diparkir secara tiba-tiba karena posisi ban yang masih berbelok tajam ke arah trotoar.

Pintu mobil berwarna hitam itu dibukakan Endro, kemudian dia mendorong lembut punggung Michel untuk naik dan duduk di kursi penumpang. Dia pun berlalu, masuk ke mobil melalui pintu di seberangnya. Mesin matik itu dinyalakan dan udara sejuk mulai memenuhi seluruh bagian mobil.

Everlasting Maker ✓Where stories live. Discover now