Singto terkejut tetapi tetap tersenyum menghadapi Sea. Singto tidak mengatakan apapun saat Sea menjerit menemukan kemejanya sudah bersimbah darah. Punggung tangan Singto terluka parah, bahkan darah masih mengalir deras dari lukanya.

Setelah membersihkan diri, Singto dibantu Sea membersihkan lukanya. Singto sejak tadi hanya diam saja dan memerhatikan Sea yang tidak berhenti mengomel. Adiknya itu luar biasa mewarisi Mama.

"Apakah Phi Singto tahu kalau aku sudah menunggu lama sekali?"

"Dan ini kenapa? Phi Singto habis adu tinju dengan siapa?"

"Apa Phi Singto tahu aku sangat khawatir? Tahu tidak?"

Singto tersenyum,"Sea..."

Sea sedang merekatkan perban pada punggung tangan Singto saat ada setetes air jatuh di tangannya. Sea berhenti bergerak dan menatap Singto. Singto menangis. Sea menghela napas,"Apakah sakit sekali, Phi?"

Singto tersenyum dan mengangguk,"Sakit, sedikit."

Sea sangat paham bahwa yang dimaksud oleh kakaknya itu bukan luka di punggung tangannya. Mungkin bisa jadi luka di hati. Tapi Singto tetap tersenyum walaupun aliran air mata di wajahnya tidak kunjung berhenti.

"Apa sakit hati itu ada obatnya?" Singto bertanya dengan lirih.

Sea menggeleng, tentu tidak ada secara harfiah. Sakit hati itu harus dicari penyebabnya dan dituntaskan segera. Singto terisak lagi lalu mengalir lah cerita dari mulutnya. Awal dari pertengkarannya dengan Krist, hadirnya Darvid di tengah-tengah mereka, perpisahan itu, dan kejadian yang baru saja terjadi.

"Aku ingin sekali meninju diri sendiri yang telah menyakitinya, makanya aku lakukan. Aku meninju pot bunga di luar, maaf ya?"

Sea menggeleng sambil menghapus air mata Singto. Ia mendengar Singto meratap lagi,"Jika memang ia bahagia tidak dengan bersamaku, aku rela. Tapi mengapa sakit sekali?"

Sea terkejut mendengar seluruh cerita Singto. Kesalahpahaman yang begitu besar. Singto terlihat seperti anak kecil yang membutuhkan kasih sayang. Sea tidak mengatakan apapun, ia beranjak ke kamarnya, mengambil bantal dan selimut lalu kembali ke ruang tamu. Sea memeluk Singto dan membungkus tubuh mereka dengan selimut, mencoba menguatkan satu dengan yang lain. Mereka bertahan seperti itu hingga pagi tiba.

***

Singto keluar dari lift dan segera berjalan menuju ruang rapat. Pintu terbuka, para karyawannya sudah menunggu sejak tadi. Rapat hari ini merupakan rapat evaluasi mereka. Proyek berhasil, pihaknya maupun pihak Praepailin mengantongi keuntungan yang sangat besar.

Singto tersenyum lebar, wajah-wajah penuh harapan di hadapannya berhasil menghibur Singto. Mereka berhasil. Tanpa menunggu apapun, Singto segera memulai rapat dan menjanjikan bonus untuk gaji mereka.

Rapat selesai, semua bersorak sorai. Maprang bahkan tidak bisa menahan diri, ia langsung serta merta memeluk Singto, ia langsung dihadiahi jitakan di kepala oleh May. Semua bergembira.

Ice mengamati punggung tangan Singto merasa bahwa ia tidak mengetahui adanya luka tersebut. Pastilah Singto melukai dirinya sendiri. Bahkan dengan segala luka itu, Singto masih dapat mengasihi orang lain. Singto memang benar-benar panutan.

***

Krist menatap kosong pada meja-meja di cafe. Sudah dua minggu sejak kejadian itu, Singto belum menghubunginya lagi. Krist ingin sekali segera menemui Singto, tapi ia merasa tidak pantas.

Singto benar, mereka memang membutuhkan waktu sendiri. Krist tidak berharap banyak, walaupun ia sangat ingin kembali bersama dengan Singto. Krist akan sangat bersyukur bahkan jika hanya mendapat maaf dari Singto.

Krist paham, begitu besar kesalahpahaman yang terbentang di antara mereka. Menciptakan jarak yang entah mengapa menjadi pemisah yang sangat luas. Ini tidak baik-baik saja.

Sea. Krist mengelus dadanya yang berdenyut menyakitkan. Ia begitu merindukan Sea. Kalau boleh, sekali saja, Krist ingin sekali bertemu dengannya. Krist ingin bertanya apakah sekolahnya lancar, apakah Sea makan dengan baik, dan apakah Sea juga sangat merindukannya.

Tapi lagi dan lagi, Krist merasa tidak pantas.

***

Setelah selesai membersihkan diri, Singto berjalan menuju kamar Sea. Adiknya tadi langsung berpesan secara khusus pada Singto untuk segera menemuinya begitu selesai.

Tok... tok... tok...

"Masuk, Phi!" teriak Sea dari dalam.

Singto membuka pintu kamar Sea dan menemukan adiknya sudah duduk di tengah kasur, sambil melipat dada. Singto mengernyit, menyadari bahwa Sea sangat serius. Singto segera bertanya begitu ikut duduk di samping Sea,"Jadi?"

Sea mengambil napas panjang, menyiapkan diri,"Phi, aku ingin melanjutkan studiku di Amerika.." Sea menutup matanya erat, takut dengan reaksi Singto. Tidak kunjung mendapat jawaban, Sea membuka mata. Mata Singto sudah berkilat tajam, siap berkonfrontasi.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Sebentar lagi aku akan lulus sekolah dan aku ingin melanjutkan mimpiku yaitu menjadi seorang perancang busana, Phi."

"Phi paham, tidak bisakah kau melanjutkannya di sini? Phi akan mencarikan sekolah terbaik—"

Sea sudah paham bahwa ini tidak akan mudah, kakaknya tidak akan serta merta mengizinkannya,"Phi, mungkin ini saatnya aku menjalani hidup dengan mandiri. Aku harus berdiri dengan kedua kakiku sendiri."

Singto memeluk erat Sea. Sea sudah tumbuh begitu dewasa, bahkan Singto tidak menyadari sama sekali,"Kau yakin bisa menjaga diri?"

Mendengar suara Singto yang bergetar, Sea tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Sea mengangguk sambil membalas pelukan Singto. Keputusan sudah bulat.

"Kau tahu harus melakukan apa untuk menghubungi Phi..." isak Singto.

Sea kembali mengangguk dan menangis semakin kencang. Selamanya nomor ponsel Singto akan menjadi nomor satu. Singto selalu menjadi orang pertama yang ia sayangi sampai kapan pun.

***

Sea bersikeras membujuk Singto untuk menemui Krist. Sea merasa bahwa Singto harus mengejar kebahagiaannya sendiri tanpa bayang-bayang Sea atau siapapun. Singto berhak bahagia.

Akhirnya Singto setuju untuk menemui Krist di cafe. Ia tidak menghubungi Krist terlebih dahulu, syukur jika ia bertemu dengan Krist, dan jika tidak juga tidak apa-apa. Singto tidak akan memaksakan kehendaknya lagi.

"Selamat da...tang.." sebuah suara penuh ceria menyapanya, Tuhan berencana lain. Krist berada tepat di hadapan Singto begitu ia membuka pintu cafe. Mungkin memang ini saatnya.

Singto tersenyum menanggapi Krist yang tersenyum salah tingkah. Singto juga sama berdebarnya, ia tidak tahu harus berkata apa. Senyuman Krist pun tidak membantu, Krist luar biasa indah.

"Jam berapa kau selesai?" tanya Singto langsung.

Krist mengejapkan matanya berusaha menguasai diri,"15 menit lagi," ujarnya sambil memerhatikan jam di dinding.

Singto mengangguk,"Aku tunggu,"

DEG...

Aku tunggu...

Krist mengeluh dalam hati, apakah ini saatnya? Apa mereka bisa menuntaskan kesalahpahaman dan kembali bersama? Atau mungkin Singto ingin mengucapkan salam perpisahan mereka?

TBC 

Maafkan diriku yang sekian bulan menghilang. Maaf banget ya? 

Bunga TerakhirWhere stories live. Discover now