Hari sudah beranjak petang, Jaehyun masih ada di minimarket tempatnya bekerja.

Malam ini hujan, suhu begitu dingin. Ia menyesal tak membawa jaket. Kulit pucatnya dibiarkan tersapa angin malam yang berhembus masuk ke dalam.

Tak ada pelanggan, Jaehyun bisa menggunakan waktunya untuk mengerjakan tugas dari guru kimianya.

Menjadi tulang punggung bagi dirinya sendiri, bukanlah sesuatu yang dibilang mudah. Karena sejak kecil, ia sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri.

Ia tinggal di sebuah flat kecil, dengan sewa yang murah, yang terkadang saluran air di sana sering mati.

Waktunya sudah terjadwal dengan sebaik mungkin. Pagi sampai sore, Jaehyun akan bersekolah, sementara sore sampai tengah malam, Jaehyun harus bekerja paruh waktu di minimarket Kun.

Uangnya tak bisa digunakan sembarangan dan foya-foya. Jaehyun harus menatanya dengan rapi, untuk kebutuhan sekolah, makan, dan bayar sewa.

Ah, hidup sebagai anak terlantar sangat lah sulit.

Satu lagi, ia tak berharap untuk bertemu dengan ayahnya. Lebih baik seperti ini, daripada harus diselimuti bayangan buruk masa lalunya.

Krincing!

Bunyi lonceng yang tersenggol pintu, menandakan ada seseorang yang datang.

Jaehyun yang sedari tadi sibuk mengerjakan tugas, cepat-cepat berdiri, melayani pelanggannya.

"JAEHYUN! Wah kita bertemu! Asyik!"

Raut mendadak berubah, malas.

Ia mendapati penyihir kecil berkepala pink yang berkunjung ke minimarket tempatnya bekerja.

Dia lagi.

"Mau membeli apa?" Tanyanya datar.

Taeyong, si mungil itu meloncat kegirangan. Bertemu dengan Jaehyun baginya adalah surga. Di kedua tangannya terdapat dua lusin es krim.

"Jaehyun bekerja di sini? Wah, kalau begitu dekat sekali dengan rumahku. Jaehyun boleh mampir!"

"Berikan padaku, biar ku total."

"Jaehyun, apa kau sekarang miskin? Mengapa kau bekerja menjadi penjaga kasir?"

Jaehyun hampir tersedak air liur. Ucapan si mungil sedikit, menohok hatinya. Tak mengindahkan pertanyaan Taeyong, dia mengambil es krim itu, untuk kemudian ia data harganya.

Merasa tak diacuhkan, Taeyong mendekat, ke arah meja kasir. Kedua tangan ia tumpu di atas meja, kemudian kepala ia sandarkan di sana.

"Jaehyun, jawab aku!"

"Harganya 20 ribu won."

Taeyong merengut, "Jaehyun!"

"Apa?"

"Kau itu kenapa sih?! Aku kan bertanya!"

"Lalu?"

"Jawab dengan benar!"

Jaehyun menyayukan pandangan, "tidak sopan bertanya seperti itu pada orang asing."

"Kau? Aku? Asing?" Taeyong kemudia naik ke atsa meja kasir, duduk di sana dengan wajah sebal.

"Hei apa yang kau lakukan! Turun dari sini!"

"Tidak mau! Aku tidak akan turun, sebelum kau mau menganggapku sebagai teman!"

Jaehyun mendengus. Si pemilik surai cokelat itu merasa pening. Baru satu hari ia mengenal Taeyong, namun ia sudah dilanda masalah yang luar biasa.

"Lee,"

"Asyik, Jaehyun memanggil namaku. Ayo panggil lagi, lalu aku akan menuruti permintaanmu untuk turun."

Rahang Jaehyun mengeras. Ia menatap sekeliling, beruntung keadaan di luar minimarket cukup sepi, jika tidak-mungkin orang-orang akan berfikiran yang aneh-aneh.

"Jangan kekanakan, cepat turun kubilang!" Jaehyun menatap si kepala pink itu menahan amarah.

"Tidak mau!" Si mungil melipat kedua tangan, memajukan bibir lucu.

"Eh, Jaehyun. Daripada kau menjadi penjaga kasir di sini, bagaimana jika kau bekerja di rumahku? Akan kubayar berapa pun."

"Lee, keluar."

"Jaehyun ayolah-"

"Lee Taeyong!" Bentakan keluar darinya. Jaehyun menatap nyalang, tak ada belas kasihan dari matanya. Ia benar-benar marah.

Yang dibentak, seketika ciut. Ia menatap Jaehyun yang begitu marah akan kehadirannya. Antara tidak percaya, tapi itulah kenyataannya.

Jaehyun benar-benar berbeda.

Taeyong kemudian turun dari meja, dengan suasana hati yang berantakan. Jaehyun baru saja membentaknya, berbicara dengan nada tinggi padanya.

Krincing!

Suara pintu terbuka lagi.

"Hyung, a-apa yang kau lakukan?" Mark, baru saja datang, tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

Kedua adam itu diam, membuat Mark merasa kalau atmosfer di sana berbeda. Dingin dan mencekam.

"Mark, ayo pulang." Taeyong memundurkan langkah, manik masih menatap Jaehyun, berharap itu adalah mimpi.

"Hyung kau kenapa?"

"Ayo pulang!" Taeyong berteriak marah.

"B-baiklah, tapi es krim mu-"

"Aku tidak selera." Taeyong berbalik, menggandeng lengan Mark.

Jaehyun masih diam di sana. Menatap Taeyong, tak berniat untuk melakukan apa pun.

"Seharusnya aku percaya kata Jennie nuna saat itu, untuk tidak percaya pada semua janji," Taeyong melirik sinis pada Jaehyun, "mereka benar-benar merusak."

Si mungil kemudian pergi keluar begitu saja. Amarah menguasai keduanya.

Mark yang bingung, segera mengeluarkan beberapa lembar uang, "ini ambil saja kembaliannya." Ia kemudian menyaut bungkus es krim, berlari keluar mengejar kepergian Taeyong.

Meninggalkan Jaehyun sendirian.

Hanya berdiri kaku, menatap kepergian si kepala pink itu dengan hati yang masih memanas.

Nafas tersengal.

Jangan marah.

Mereka tak akan menyelesaikan semuanya.

Kau boleh tidak peduli.

Tapi jangan biarkan,

Perasaan hitam menggebu itu,

Menyelimuti jiwamu.

Jaehyun mendongak, mengambil nafas dalam-dalam. Kedua tangan ia gunakan untuk mengusap wajahnya. Lagi, ia gagal untuk menahan emosinya.

"Bodoh."

Haruskah aku mengejar?

"Tidak." Jaehyun menyibukkan diri kembali, mengejar? Memang Lee Taeyong sepenting itu?

Berharap ia akan lupa, namun Jaehyun masih mengingat bagaimana tatapan Taeyong saat ia membentaknya tadi.

Ia terlihat, kecewa.

***

Sebelumnya aku mau tanya. Gak penting sih, tapi ini penting buat aku.

Apa alasan kalian suka dengam cerita ini?

Apart to come | Jaeyong [✓]Where stories live. Discover now