Beware of Fairytales

222 36 30
                                    

Sinfoni terang bulanNyanyikan padaku tatkala bakung putih bersemiBimbing aku pada ElysiumHadang ia menelankuKarena aku jiwa yang rapuhSementara ia lebih buruk dari kematian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sinfoni terang bulan
Nyanyikan padaku tatkala bakung putih bersemi
Bimbing aku pada Elysium
Hadang ia menelanku
Karena aku jiwa yang rapuh
Sementara ia lebih buruk dari kematian

Auristela menyenandungkan potongan-potongan lirik lagu yang terlintas di kepalanya. Kakinya yang telanjang menapaki ubin kamar dengan perlahan, menari dalam kegelapan kamarnya sendiri. Ia berputar sekali sebelum berhenti tepat di bawah basuhan cahaya rembulan yang merasuk dari jendela besar yang dibiarkan terbuka. Cahanya laksana berkah surgawi, menyirnakan separuh kegelapan yang memeluk sepanjang malam.

“Dongeng apa yang akan dibawanya?” Manik matanya yang sewarna kastanye berbinar, memikirkan kisah-kisah yang akan dibawa peri cantik dari ranah dongeng paling menakjubkan. Ia akan terjaga sepanjang malam dan pergi ke kasurnya menjelang pagi.

Gadis berusia sepuluh tahun itu duduk melipat kakinya di depan jendela. Jam besar yang dilingkupi kegelapan menunjukkan pukul sepuluh. Untuk seukuran anak kecil, matanya belum dirambati kantuk sama sekali. Sebagai putri seorang Count yang bangkrut, ia tak mendapatkan perlakuan layaknya nona muda lagi. Para pelayan—yang seharusnya mengurusi dirinya—sibuk mengutili sedikit demi sedikit sisa harta tuannya sebelum kabur, sampai-sampai tak ada waktu sekadar membantu nona muda mereka bersiap untuk tidur.

Ayahnya, sang Count, hanya terpuruk menghabiskan waktunya untuk mabuk-mabukan di atas sofa ruang tamu hingga wajahnya macam pengemis. Berkhayal tentang kuasanya sebagai bangsawan paling berlimpah hartanya di seluruh benua. Sedangkan ibunya yang sudah gila dipasung di penjara bawah tanah. Diisinya sisa usia yang sia-sia itu dengan jeritan dan ratap tangis. Tinggalah Auristela sebagai satu orang waras, seorang gadis kecil yang menghabiskana waktu di kegelapan kamarnya untuk bermimpi, menekuni kisah dalam dongeng, atau menyenandungkan penggalan lirik lagu yang muncul di penghujung ingatan.

Bayangan di bawah kasurnya menggeliat saat Auristela menatap bulan purnama. Matanya yang bulat sempurna berkedip-kedip, memperhatikan punggung gadis kecil itu. Lengannya yang hanya berupa bayangan hitam bergerak-gerak merambati lantai, berusahan menarik dirinya dari bawah kolong.

“Ja-ng-an te-mu-i di-a.” Suaranya yang serak dan terputus-putus membuat Auristela menoleh dengan wajah berkerut. Bunga-bunga yang mekar di dalam hati sebelumnya melayu dalam satu kedipan.

“Menyingkirlah, Jelek!” Gadis itu beranjak gusar, menendang-nendang bayangan agar kembali ke dalam kegelapan. Ia tak tahu pasti tentang bayangan itu, tapi dia monster penghuni kolong tempat tidur yang menjengkelkan. Tubuhnya yang menggeliat dalam kehgelapan membuatnya tampak bagai serangga paling menjijikan. Auristela lantas melemparkan barang-barang yang dapat digapainya, berteriak dan menjerit hingga mengentakkan kakinya.

“Auris kecil?” Saat Auristela sibuk merutuk, seorang pemuda dengan daun telinga meruncing dan surai keemasan menjuntai muncul di muka jendelanya. Manik matanya yang sewarna batu zamrud berkilat oleh cahaya rembulan.  “Kupikir kau tertidur karena tidak bernyanyi.”

Beware of FairytalesWhere stories live. Discover now