E N A M

53 1 0
                                    

Selamat membaca!

Gevia duduk diam sembari memperhatikan Wildan yang sedang sibuk dengan teman-temannya. Pemuda itu tampak asik mengobrolkan sesuatu, dengan tawa yang sekali-kali muncul dari bibirnya. Kenapa tidak ada sedikitpun kesedihan yang terpancar dari raut Wildan? Apa perceraian tidak membawa luka yang mendalam untuknya? Pertanyanyaan-pertanyaan semacam itu, terus berputar pada kepala Gevia. Menuntut untuk mendapatkan jawaban.

"Gev ini kita ngapain sih?" Airin berungkali bertanya apa tujuan mereka duduk diam di sini. Di bawah pohon mangga yang tidak berbuah. Mengawasi gerombolan kakak tingkat yang tepat berada di depan mereka.

"Diem Rin!" Gadis dengan rambut sebahu itu mengeluarkan buku yang ada di dalam tas. Berakting seperti sedang belajar dengan sebaik mungkin. Ia masih harus terus mengawasi setiap gerak-gerik Wildan. Mencari kesempatan emas yang sekiranya bisa mendekatkan keduanya.

Airin menatap kegiatan sang sahabat dengan kesal. Menahan malu dan rasa penasaran sungguh tidak menyenangkan. Ingin rasanya pergi meninggalkan Gevia, dengan misi-misi gilanya itu. Namun, sisi baik dalam diri Airin menahan untuk tetap tinggal.

Airin merebut buku yang ada di pangkuan Gevia. Membuat Gevia yang sedang fokus berakting, berjengit kaget, "APAAN SIH RIN? LO ENGGAK LIAT GUE LAGI SIBUK NGINTAI KAK WILDAN?"

Dengan napas memburu Gevia menatap Airin. Sedangkan Airin yang ditatap demikian hanya memasang wajah bingung. Tidak menyangka dengan reaksi berlebihan Gevia. Niat hati hanya ingin membuat Gevia sedikit mengalihkan perhatian dari akting pura-pura belajarnya, lalu menjawan pertanyaan yang sejak ada ia lontarkan. Namun siapa sangka, Gevia malah berteriak heboh menyerukan dari jawaban yang dari tadi ditunggunya.

"Ehem, ada perlu apa ya Gev, kok pake ngintai gue segala?" Suara yang muncul otomatis menghentikan aksi saling tatap yang Gevia dan Airin lakukan. Dengan kaku Gevia menolehkan kepala ke sumber suara.

"Gev?" Wildan mengibaskan tangannya di depan wajah Gevia yang masih mematung. Yang bisa Gevia lakukan hanyalah mengerjap-erjapkan mata. Kejadian yang baru saja terjadi membuat dirinya shock. Bagaimana bisa ia berteriak dengan lantang mengatakan sedang mengintai Wildan, sedang si target sendiri ada di jarak yang lumayan dekat dan dipastikan dapat memdengar. Sudahlah! Gevia dan tingkah tak terduganya tidak terpisahkan.

Melihat Gevia yang masih diam mematung sembari memandang Wildan, Airin semakin bingung harus bertindak bagaimana. Yang dapat dilakukannya hanya mencubit lengan Gevia. Mencoba menarik kembali kewarasan sang sahabat, yang beberapa menit lalu menguap tertiup angin.

"Eh ini Kak, gue mau minta tolong buat..." mata Gevia bergerak memindai sekitar. Mencari sessuatu yang sekiranya dapat dijadikan alasan.

"Buat apa Gev?" Melihat Gevia yang tidak kunjung melanjutkan kalimatnya, Wildan kembali memberikan pertanyaan, Sembari menahan tawa. Sungguh tingkah Gevia dapat membuatnya merasa terhibur.

"Ah itu! gue mau minta tolong Kak," jawab Gevia spontan.

"Minta tolong apa?"

"Emm... minta tolong Kak Wildan bagi tips supaya bisa punya wajah glowing yang tidak tertandingi." Gevia mengembangakan senyum, tidak menyangka disaat terdesak seperti ini otaknya dapat bekerja dengan baik.

Berbeda dengan Gevia, Wildan dan Airin dibuat melongo di tempat. Sungguh rasanya Airin ingin memukul kepala Gevia dengan kencang, agar sedikit saja kewarasan dapat menyambangi otaknya.

"Enggak ada tips, gue udah glowing sejak lahir." Wildan mengangkat dagu tinggi, menyombongkan wajah glowing yang didapatkannya secara cuma-cuma. Tanpa perlu skincare mahal, apalagi perawatan terjadwal.

Tanpa Wildan sadari tingkahnya itu membuat Gevia jatuh lebih dalam pada pesona Wildan, yang padahal masih newbie dalam dunia perdudaan. Bagaimana tidak, wajah tampannya yang sedang tersenyum, dan tanpa sengaja terkena sinar matahari, semakin menjadikannya menawan bak pangeran yang ada dalam negeri khayalan. Gevia jadi membayangkan jika dirinya menjadi tuan puteri dan Wildan lah yang menjadi pangeran. Berkuda bersama, sebagai sepasang kekasih yang sedang menikmati masa-masa indahnya jatuh cinta.

"Mas Wildan, tolong jagain anaknya bentar." Angan Gevia yang sempat melambung tinggi ke angkasa, terpaksa harus mendarat ke dasar lembah terdalam. Tiang-tiang bernama harapan yang semula berdiri dengan kokoh, kini sedikit goyah dihantam badai bernama kenyataan, yang datang tanpa diundang.

Melihat sosok mantan istri Wildan, rasa-rasanya tingkat kepercayaan diri Gevia menurun hingga ke dasar. Bagaimana tidak, dengan tampilan fisik yang nyaris tanpa cela, dan sifat anggun yang menentramkan jiwa. Gevia jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dia. Bukan bermaksud insecure, namun memilih sadar diri.

"Kenalin Gev, Rin, ini anak gue." Wildan melambaikan tangan mungil anaknya ke arah Gevia dan Airin secara bergantian.

"Ih lucu!" Heboh Airin. Hasil dari bibit unggul memang tidak perlu diragukan lagi. Anak Wildan lah yang menjadi bukti. Masih bayi saja sudah kelihatan cantik, apalagi jika sudah gadis. Mungkin saja, ia akan menjadi beauty vlogger, selebgram, atau bahkan youtuber.

"Namanya Lula."

Gevia melirik bayi perempuan yang ada dalam gendongan Wildan. Bayi yang mungkin saja menjadi anaknya dikemudian hari. Gevia rasa, Lula menuruni pesona Wildan yang begitu kuat. Buktinya baru sekali berjumpa, Gevia telah menyimpan rasa.

"Mamanya mau kemana tadi Kak?" tanya Airin, mengingat Mama Lula yang pergi dengan terburu-buru.

"Oh kelas dia mau ada kuis. Makanya cepet-cepet ke sana biar ada waktu buat belajar. Kemarin malem diajakin Lula begadang."

"Terus lo kemana Kak? Enggak bantu jagain Lula emang?"

"Ada. Gue lagi sibuk ngurus laporan buat usaha yang gue kelola. Maklum lah Rin, jadi suami, orang tua, sekaligus mahasiswa, banyak hal yang mesti diurus."

"Makanya jangan nikah muda Kak," dumel Airin. Menikah muda tidak akan jadi masalah jika dilakukan saat semuanya telah benar-benar siap. Siap secara mental, finansial, dan tentunya siap menghadapi seabrek masalah yang datang silih berganti. Namun, akhir-akhir ini yang sering Airin lihat banyak orang yang memilih menikah muda hanya untuk mengikui tren terkini. Tanpa ada kesiapan yang akhirnya berujung perpisahan.

"Kenapa?" Kening Wildan berkerut. Menanti jawab dari Airin, tetapi sepertinya alih-alih menjawab dengan untaian kata, Airin lebih memilih menggelengkan kepala sembari tersenyum.

"Padahal asik tau Rin."

Gevia diam, mencerna percakapan-percakapan yang terjalin antara Wildan dan Airin. Otaknya sedang bekerja dengan keras, guna mendapat satu kesimpulan. Atau lebih tepatnya, mencari kata yang dapat memperkuat apa yang telah diperkirakannya.

Hingga satu pertanyaan terlontar dari mulut Gevia. "Kak Wildan sama istrinya baik-baik aja kan?"

Anggukan tanpa ragu dari Wildan telah memperjelas segalanya. Bahwa seharusnya Gevia tidak menyematkan julukan duda idaman, pada Wildan yang ternyata masih berstatus suami orang. Bahwa angan yang Gevia rangkai, selamanya akan jadi cerita yang tidak pernah terjadi secara nyata.

Gevia menunduk. Menyadari tingkah bodohnya, yang begitu mempercayai sebuah isu yang kebenarannya saja tidak jelas. Mendengar kata duda kala itu, membuat otaknya tidak dapat berpikir secara jernih. Ia terlalu larut dalam rasa senang, karena telah menemukan duda pengganti Dimas saat itu. Hampir saja Gevia berganti julukan, yang awalnya penggila duda, mungkin akan menjadi perebut suami orang.

Di tengah berbagai rasa yang berkecamuk, Gevia masih dapat mengucap syukur. Nasib baik masih berpihak padanya. Coba saja, ia lebih lama tahu sebenarnya. Mungkin sekarang dirinya bergelar perempuan perebut suami orang. Menjadi tokoh antagonis yang banyak mendapat hujatan.

***
Bersambung...
Lampung, 23 September 2020

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Buy 1 Get 1 FreeWhere stories live. Discover now