one

96 39 37
                                    

"Ini mba pesanannya." Pelayan itu memberikan 10 kotak bungkus makanan bermerek em ci di, kepada Imel.

"Makasih mas." Imel tersenyum kikuk, karena ia jarang tersenyum. Ia tidak bisa tersenyum. Imel suka bercermin untuk melihat pantulan wajahnya saat tersenyum, menurutnya senyumnya aneh, maka dari itu ia tidak pernah senyum di depan umum. Pelayan itu ikut tersenyum balik kepada Imel.

"Tuh, coba lo bagiin ke bapak-bapak yang jualan balon, kasian. Anaknya juga masih kecil." Galang menunjuk ke bapak-bapak dengan seorang anak kecil yang sedang menjual balon.

Saat Imel ingin melangkah ke sana, tiba-tiba tangannya di tahan oleh Galang. "Nggak usah pegang-pegang tangan gue." Imel menarik tangannya kasar, ia tidak terbiasa di sentuh sembarang orang.

Galang hanya menghembuskan nafasnya pelan. "Nanti ngomongnya yang sopan, jangan kaya gini. Nih, buat bapak sama anaknya. Kalo lagi kerja jangan bawa anaknya. Nggak enak diliat orang! Lo jangan kaya begitu, tapi ngomong kaya gini. Permisi pak, saya punya sedikit rezeki nih, buat bapak sama anaknya. Oh iya pak, ini balonnya saya beli semua aja, pak. Begitu."

"Harus banget ya, gue ngomong kaya gitu?"

"Iya lah. Kalo nggak kaya begitu, lo nggak bakal ngelakuin satu kebaikan pun." Imel melongo, tidak habis pikir. Sebenernya ia sudah lelah sekali hari ini, tapi mau bagaimana lagi, setidaknya ia harus melakukan kebaikan setidaknya sehari sekali.

"Hm, iya." Imel merasa hatinya tercubit, karena melihat anak kecil yang ada di pangkuan bapak-bapak itu sedang menangis. Hanya sedikit ya kawan-kawan, jika di jadikan persen hanya 1,5%. Dasar Imel, dia memang jahat, selain bakatnya berkata pedas dan menyakiti hati orang lain.

"Umm, permisi pak. Anaknya kenapa ya pak?"

"Anak saya kelaparan mba. Dari pagi belum makan, makanya nangis terus dari tadi. Balon yang saya jual juga belum ada yang beli."

"Ohh, begitu. Umm, sa-saya punya sedikit rezeki nih, buat bapak sama anak bapak. Oh iya, balonnya saya beli semua aja, pak." Imel menyerahkan empat kotak makanan berserat minumannya kepada bapak itu, niatnya sekalian buat makan malam.

"Makasih ya, mba. Mba orang yang baik. Makasih mba udah mau ngasih makanan ke kita." Bapak-bapak penjual balon itu hampir menangis, tapi ia juga tidak boleh bersedia di depan anaknya.

Ia jadi teringat pada dirinya sendiri, setiap makan jika makannya tidak sesuai seleranya, maka ia tidak akan memakannya dan memilih meminta menu makanan yang lain kepada bi lili.

"Hngg, ini semua berapa pak balonnya?"

"Mba mau beli semua balon ini?"

"Iya, pak."

"Ini balonnya ada 15. Satunya 10 ribu. Jadi 130 aja buat mba. Soalnya mba udah ngasih kita makanan." Bapak itu menyerahkan semua balon yang ada di sepedanya. Dan menerima tiga lembar uang berwarna merah.

"Maaf mba, tapi uang ini kelebihan." Bapak itu melihat uang yang Imel berikan, dan mengembalikan uang yang kelebihan.

"Hngg, buat bapak aja semuanya. Ma-makasih pak, saya permisi dulu." Imel gugup untuk mengatakan terimakasih, karena ia jarang, sangat, amat sangat, jarang mengatakan kata Terimakasih.

"Ini beneran mba? Saya sangat berterima kasih sama mba, semoga makin di lancarkan rezekinya dan sehat selalu ya, mba." Bapak itu tersenyum ramah kepada Imel, Imel membalasnya dengan senyum kikuk.

Galang yang melihat dari kejauhan merasa senang, karena baru kali ini, pertama kalinya, mendengar Imel berkata sopan walaupun intonasinya masih sedikit sama seperti biasanya.

A Curse || ft. Mark LeeWhere stories live. Discover now