Ahool

117 21 31
                                    

Lembap dan dingin. Hanya sedikit cahaya matahari yang dapat menembus kedalaman gua. Tetes-tetes air dari stalaktit jatuh silih berganti dengan tempo lambat. Gua Aseupan, begitulah manusia menamainya. Merupakan salah satu gua berlorong vertikal yang berada di kawasan Karst Karang Kandang.

Beberapa penjelajah yang terdiri dari dua orang mahasiswa, kepala resor, dan dua orang masyarakat lokal mengamati dengan cermat mulut gua yang terlihat seperti sumur besar.

Peralatan SRT (Single Rope Technique)--salah satu teknik dengan menggunakan satu tali yang umumnya dilakukan untuk mengeksplorasi gua vertikal--dipasang di sekitar mulut gua. Beberapa penjelajah memeriksa kembali perlengkapan yang melekat di tubuhnya, seperti helm proyek, headlamp, harness, sarung tangan, sepatu, dan alat lainnya untuk perlindungan diri. Karena sejatinya, keselamatan adalah hal yang paling utama dan patut diprioritaskan.

"Bismillah." Salah satu dari mereka mengucap do'a sebelum menjadi orang pertama yang memasuki mulut gua.

Diikuti yang lain, para penjelajah itu satu per satu mengikuti rekannya hingga menyisakan dua orang di mulut gua untuk mengawasi keadaan sekitar.

Mereka mengamati kondisi gua dengan takjub. Beberapa mengambil gambar untuk dokumentasi, dan beberapa mencatat hal-hal penting pada buku sakunya. Penjelajahan terus dilakukan sampai tiba di chamber, yaitu sebuah ruangan di dalam gua, dan terdapat ornamen gua berupa flowstone. Pada ruang ini, penerangan hanya bersumber dari headlamp di kepala mereka, karena cahaya matahari sudah tidak dapat menembusnya.

Mereka menemui beberapa biota seperti makhluk amfibi, kelelawar, dan jangkrik gua sebagai hasil penjelajahan. Selagi sibuk mencatat, memotret, dan berjalan dengan langkah hati-hati, mereka tak menyadari bahwa ada sesosok makhluk individual yang bersembunyi di balik flowstone yang indah, Ahool namanya.

Dia sedang tidur. Namun, berkat indra penciumannya yang tajam, kehadiran para penjelajah itu dapat terhirup bahkan dari sejak mereka berjarak 100 meter dari mulut gua, membuatnya terbangun untuk mengamati mereka dengan mata yang sekelam malam.

Penampakan fisik Ahool terlihat seperti kelelawar, tetapi dengan ukuran sepuluh kali lipat lebih besar. Sayapnya mampu direntangkan selebar 4 meter. Namun, kini sayap itu terlipat rapi menyelimuti tubuhnya. Cakar tajam yang terletak di ujung sayap, disembunyikan pula di balik tubuh. Pendengarannya yang tajam, tak henti mengawasi. Ia tetap bergeming, para penjelajah itu bukanlah musuhnya, bukan pula mangsanya. Meski begitu, ia tetap harus berhati-hati.

Ahool terdiam dengan posisi bergelantung pada langit-langit gua dekat flowstone, bersembunyi agar tidak terlihat oleh para manusia. Karena sebetulnya, manusia adalah makhluk yang ia hindari. Mereka tidak memiliki cakar yang tajam, tidak pula taring yang menyeramkan. Namun, mereka mampu membinasakan apa pun, terlebih pada makhluk-makhluk yang dapat mengancam nyawanya.

"Masuk, Maleo. Kalian harus cepat kembali, hujan akan segera turun." Suara laki-laki terdengar lewat handy talky.

"Siap, di-copy."

Para penjelajah kemudian berdiskusi sebentar. Mereka belum selesai melakukan pengamatan, tetapi cuaca sedang tidak bersahabat. Kawannya bilang, sebentar lagi akan turun hujan. Mereka kemudian bergegas kembali ke permukaan, takut akan tenggelam karena banjir yang mampu memenuhi gua.

Cuaca cerah terganti oleh guyuran hujan lebat. Membuat hawa dingin menyelimuti sekitar. Para penjelajah sudah menghilang sejak satu jam yang lalu. Ahool beranjak dari tempatnya ketika sang raja siang siap berganti peran dengan dewi rembulan.

Kala malam datang, Ahool keluar dari persembunyian. Ia merentangkan sayap lebarnya, siap terbang menembus hutan untuk berburu santapan. Kepakan sayapnya menuntun pada sungai deras di dalam hutan yang masih termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Ia terbang perlahan, mengatur gerakannya agar tidak menimbulkan bunyi berisik karena menyukai kesenyapan.

Mestika Rakata : AhoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang