"What the--"

Ia mencoba memberontak dengan menggerakkan badannya, namun pergerakan tubuh bagian bawahnya pun terhalang. Ia melirik ke bagian bawah dan wajahnya langsung pucat; kedua kakinya kini terbentang lebar, terpisah satu sama lain dengan masing-masing terikat ke ujung kasur yang berbeda dengan rantai yang sangat pendek, posisi yang sangat tidak menguntungkan.

Taka menggigit bibir bawahnya. Takut merambat ke seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. Ia mulai menarik-narik tangan dan kakinya, sedikit berharap rantai atau ikatan rantai pada kasurnya itu putus, tetapi hasilnya hanya pergelangan yang memerah dan terasa panas.

Ia baru berhenti ketika bunyi derit pintu terdengar. Ia melempar pandangan awas pada pintu itu. Lelaki kaukasia itu, si pelaku, masuk dan duduk di tepi kasur sebelah kanan; wajahnya mengernyit seperti menahan sakit kala menangkap tatapan benci dari Taka. Ia menghela berat.

"My dear, my poor boy..."

Rupanya itu Jessie.

Wanita itu mengulurkan tangannya dan membelai pipi kiri Taka.

Refleks, Taka menjauhkan kepalanya.

"Don't you dare to touch me."

Helaan berat kembali terdengar; Jessie menarik tangannya kembali. "Sweetie, listen... I-I can't do anything..." isak Jessie tiba-tiba, "I begged Al to not be too rough. I explained you're just tired... that you miss your friends and get snapped. But he was angry, you want to get out before the due time, I'm left with no choice..."

Napas Taka tersengal karena menahan amarah. Ia belum berani berbicara karena Jessie bisa saja melakukan hal yang tidak bisa diprediksi.

"Talk to me... please," isak Jessie bertambah parah, kini disertai sesenggukan dan suaranya berubah sengau. Tak kuasa, wanita itu menangis sambil menutupi wajahnya.

Taka bertindak tidak peduli dan memilih memalingkan wajah.

Tak lama, isakkan Jessie tiba-tiba terhenti, seperti suara televisi yang di-mute seketika, bukan dikecilkan dengan perlahan, dan ruangan terasa mencekam. Beberapa detik berlalu dengan amat tidak nyaman. Jessie pun seolah menjadi patung; Taka tidak merasakan adanya gerakan sama sekali.

Keheningan yang tak nyaman itu baru berhenti ketika Jessie--bukan, lelaki kaukasia itu kembali berbicara, dengan gaya yang sama sekali bukan Jessie, membuat lonjakan di dada Taka, "Ah... you make her crying... though she thinks of you as her own child..."

Tubuh Taka seketika menegang. Tangannya mengepal erat, pergelangannya seperti tersengat ketika kulitnya yang inflamasi kembali menyentuh borgol. Tanpa melihat pun ia tahu, itu Albert.

"That's why women are annoying."

Taka masih belum berani memandang Albert. Melalui cerita-cerita Jessie, Albert terdengar seperti lelaki pemarah dan bengis yang berlagak seperti bos. Yang mengikat dirinya pun--atau yang memberi perintah untuk mengikatnya--adalah Albert.

"Listen, don't get me wrong, I'm not like Sam and Jessie; they love you and look after you. They are my only reason to not kill you. If they are not in the way, I have killed you and preserved your body for my own."

Taka terdiam. Sementara itu, kebalikan dengan tubuhnya, otaknya justru bekerja keras mencari arti dari ucapan penculik itu. Lebih tepatnya, mencari alasan mengapa Albert ingin membunuhnya.

"Look at you, Takahiro," ujar Albert dengan suara rendah.

Pada saat yang bersamaan, kasur berderit; Taka langsung menolehkan kepalanya, mengawasi pergerakan Albert.

Toruka: Pulling Back [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang