Makan siang akan diantar sebentar lagi; ia jadi tahu sudah berapa lama ia tersekap, satu setengah hari, mungkin lebih. Masa bodoh jika ternyata ketiga orang berengsek itu mengatakan makan malam sebagai makan siang. Ia tidak mau memikirkannya. Ia lelah, terutama setelah mendengar dari Sam bahwa tidak ada yang bisa diajak berkomplot dengannya. Kelelahan mental itu membuat melulu pikiran negatif yang ada di otaknya dan membuatnya marah pada siapapun, termasuk marah pada ketiga anggota band-nya.

Apa mereka tidak mencarinya? Ini sudah satu setengah hari penuh. Apa mereka tidak melapor polisi?

Apa... mereka menyerah?

Cengkraman Taka pada cenalanya mengerat karena pemikiran itu. Ia tahu pemikiran itu hanyalah sebuah pemikiran yang tanpa alasan, bahkan mungkin pelampiasan belaka. Teman-temannya mungkin tidak bisa melacaknya; Albert bisa saja--justru sangat mungkin--meng-hack kamera pengawas jalanan atau semacamnya. Itulah yang membuatnya lebih khawatir; lawannya sekuat itu hingga kepolisian susah melacaknya.

Taka menggigit bibir. Jika saja... jika saja ponselnya bisa dinyalakan dan bisa digunakan untuknya terhubung dengan yang lain. Atau jika lebih baik lagi, ia bisa mencoba melawan...

Seperti menelan sekarung pasir tanpa air, ia menjadi gugup sendiri karena pemikirannya. Sudah satu setengah hari ia berada di sini, tanpa pernah melihat apa yang ada di balik pintu yang di sebelah kanan--tanpa pernah mencoba melihat. Sejujurnya, ia takut. Albert yang mengintimidasi dan Sam yang bipolar. Jessie mungkin tidak perlu diwaspadai...

Tetapi mungkin bisa dimanfaatkan...

Taka menarik napas dalam-dalam. Pikirannya masih sibuk. Di dalam otaknya seperti ada timbangan yang menimbang baik dan buruknya rencana yang ia pikirkan.

Setelah sepertinya sepuluh menit, dia akhirnya membulatkan tekad untuk melawan, meski risikonya besar dan kemungkinannya sangat kecil, tetapi masih belum nol; artinya masih ada harapan, bukan mustahil.

Dengan perasaan berat, tubuhnya bangkit dan berjalan mengitari kasurnya untuk melihat seberapa jauh rantai yang mengikat kaki kanannya pada kaki ranjangnya. Ternyata, panjang rantai itu mencapai sekitar dua meter; masih kurang panjang untuk meraih pintu manapun. Ia juga mengambil ponsel tanpa baterai-nya dan memasukkannya ke kantung celana dengan gerakan samar, lalu mengitari kamarnya, seraya mengingat-mengingat barang apa yang cukup keras untuk memukul seseorang hingga pingsan, namun masih cukup kecil untuk diselundupkan di baju. Akhirnya, ia memilih sebuah piala penghargaan dari keramik dengan beban yang cukup berat. Ia pun segera menyelipkannya di balik bajunya dengan lihai agar tak terlihat melalui CCTV.

Setelah dirasa cukup, Taka kenbali pada ranjangnya dan menunggu santapan-nya datang.

***

Takahiro menunggu tidak terlalu lama; ketukan pintu tahu-tahu sudah menyadarkannya dari lamunannya. Ketukan itu disusul oleh bunyi derit pelan, lalu dengan perlahan terbuka, menampilkan lelaki kaukasia yang sedang tersenyum sambil membawa nampan berisi makanan.

"It's lunch time, dear," katanya, "can I accompany you?"

Taka mengangguk.

Jessie masuk dan mengunci pintu kembali. Baru saja ia hendak membawa nampan ke kasur, Taka berbicara, "I want to go to toilet, can you unlock me?"

"Sure, dear."

Nampan itu berakhir di atas meja.

Jessie merogoh kantungnya dan mengeluarkan sebuah kunci. Ia lantas mendekati kaki kanan yang disodorkan Taka untuk membuka ikatan itu.

Saat itulah, ketika wanita itu menunduk dan berkutat dengan kunci serta lubang kunci, Taka mengeluarkan piala itu dari balik bajunya. Tangan bergetar dan berkeringat, ia menunggu hingga kuncinya terbuka.

Toruka: Pulling Back [COMPLETED]Where stories live. Discover now