Bagian 10

25 4 1
                                    

2 tahun lalu

"Kita ini gak sepadan." Suara itu hampir hilang, bersamaan dengan angin malam yang berhembus cukup kencang

"kasih aku alasan lain Hilya"

Hilya memandang lurus kearah lampu jalan yang remang-remang, "apa aku harus sebutin satu-satu? Apa kamu gak bisa dengerin omongan orang selama ini? Atau mungkin kamu muak."

"apa kamu bisa berhenti buat gak ngomong ini?" pria bersetelan jas abu-abu itu menatap wanitanya gusar

"semuanya udah gak bener dari awal, aku bodoh karena jatuh untuk kamu sedalam ini" Kepala Hilya terasa berat, fikirannya berkecamuk dan menyisakan sesak yang menjalar dirongga pernafasannya.

"dengar," pria itu –Fazal Abqary- menggengam kedua tangan Hilya erat, "bahkan jauh sebelum kamu, aku udah jatuh berkali-kali Hilya. Berjuang sampai tangan ini ada digenggamanku seperti sekarang."

"kamu selalu keras kepala"

"kita hadapi sama-sama ya?" tatapan Fazzal sarat akan pengharapan, tulus tanpa keraguan.

"klise. Kamu tahu sudah berapa banyak aku menumpuk sakit yang sayangnya, sakit itu gak bisa aku bagi sama kamu?" Hilya rasanya tak ingin melepaskan genggaman itu tapi ia harus. Keadaan ini menyiksanya, menyiksa keduanya.

"kamu bisa, tapi kamu gak mau."

Hilya tertegun dengan apa yang barusan ia dengar, wanita itu menarik ujung bibirnya, menampakan senyum nanar

"kita buat semuanya lebih mudah oke? Orangtuaku pasti akan setuju, mereka ingin anaknya bahagia"

"mereka akan sangat terpaksa Fazzal, justru itu akan memperumit semuanya"

"lalu gimana sekarang? Kamu akan terus ngerasa tertekan kayak gini"

"kita akhiri. Setelah itu aku akan bebas, dan kamu gak akan dapet gunjingan orang-orang lagi. Kamu akan kembali rukun dengan kedua orang tua kamu"

"bebas?" Fazzal menatap langit malam yang mendung itu, "kamu tahu? Hari ini aku kembali kehadapan kamu setelah sebelumnya kamu minta aku suskses dengan kuliah dan karirku. ketika aku menyelesaikan kuliah dengan predikat lulusan terbaik dan mendapatkan posisi sebagai direktur utama perusahan yang aku rintis sendiri, lalu apa? Aku malah denger kata-kata yang..... aku gak tahu"

Hilya menunduk, ia tak bisa mendengar itu semua dari Fazzal. Ia seperti tertusuk puluhan pisau dari berbagai arah. Perasaan bersalah jelas menggelayuti dirinya.

"aku sudah menerima penolakan dari keluarga kamu, mentah-mentah. Aku lupa berapa kali mama kamu hampir nampar aku kalau aja kamu gak ada disana untuk menenangkannya. Aku nyaksiin sendiri gimana mereka nolak keberadaan aku. Orang-orang disekeliling kamu, didunia kamu. Apa alasan seperti itu belum cukup kuat untuk kita sebaiknya berpisah?"

Hilya merasakan tubuhnya merosot kebawah, tenanganya seakan habis tak bersisa ketika mengakatan bagian tersulit, inti masalah untuk hubungan keduanya

"aku mau hubungan ini berhasil, dan aku tau persis kamu juga menginginkannya. Bisa percaya sama aku?" Fazzal, pria itu berjongkok mensejajarkan dirinya dengan kekasih yang sudah lima tahun dipacarinya itu

"aku selalu percaya sama kamu, tapi aku gak yakin ini akan berhasil. Kita udah beda dari manapun orang melihatnya."

Pria disamping Hilya ini mengacak-acak rambutnya kasar, bingung harus berkata apa lagi "kamu selalu gunain kelemahan kamu sebagai senjata."

"apa kamu gak bisa ngelihat bedanya? Kamu gak buta. Kamu... sempurna"

Genangan air itu sudah terbendung dipelupuk mata Hilya, pertahanannya sebentar lagi akan runtuh

Ineffable decisionWhere stories live. Discover now