- 2

81 11 6
                                    

Tsukishima itu susah dimengerti. Lizie ingin begini, Tsukishima niatnya begitu. Lizie menanyakan ini, Tsukishima sengaja melencengkan jawaban hingga jadi ke itu. Dia kerap terkesan sengaja membuat pacarnya sendiri jengkel, entah apa alasannya.

Lizie tidak paham, dan untuk bertanya pun sudah malas duluan. Paling-paling Tsukishima hanya akan mengedikkan bahu, lantas memasang seringai menyebalkan sambil menaikkan alis dan berkata, “Tidak ada salahnya kalau aku ingin menghibur diri sendiri, kan?”

Dengan cara menaburkan garam pada tiap kalimatnya yang ditujukan untuk Lizie? Tsukishima memang sudah tidak waras, demikian gadis berambut putih itu merutuk dalam hati.

Mau dilihat dari sisi manapun, Tsukishima tetaplah menyebalkan. Tidak hanya pada kekasihnya saja, juga pada semua orang.

Seperti sore itu, contohnya. Ketika berjalan menuju tempat latihan klub voli putra untuk menemui kekasihnya, Lizie melihat murid junior yang ia kenal, Yukihime Hikari dari kelas 1-5, sedang berdiri di depan gimnasium dengan bersandar ke dinding.

“Hikari!” nama diserukan, langkah kaki pun dipercepat hingga jarak mereka memendek. Sang pemilik nama menoleh, lantas menyapa balik disertai senyum, “Lizie-senpai.”

“Sedang apa?” pihak yang lebih tua melepas tanya, kentara sedikit mengangkat wajah untuk berkomunikasi dengan Hikari. Si gadis Yukihime memang lebih tinggi kurang lebih tujuh senti dari seniornya, tetapi mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Jelas beda dengan Tsukishima yang sedikit-sedikit menyenggol soal tinggi badan Lizie.

“Aku menunggu Tobi-chan, kami sudah janji pulang bersama,” Hikari menjawab, masih dengan senyum yang tidak luntur.

“Oh, menunggu Ōsama?” suara yang tidak asing lagi menyela obrolan, Tsukishima muncul begitu saja dari dalam gimnasium, sudah menyandang tas. Ia melepas senyum khas—berkesan mengejek—pada teman seangkatannya, “Kurasa dia masih ingin latihan lebih lama lagi. Tidak mau pulang saja, Joō-sama?”

Panggilan Ōsama dan Joō-sama dari Tsukishima itu jelas tidak dimaksudkan untuk hal yang bagus, baik untuk Kageyama Tobio maupun Yukihime Hikari. Tsukishima memanggil mereka begitu bukan dengan niat menyanjung, melainkan cenderung ledekan—mengingat Kageyama dikenal sebagai Raja Lapangan yang dulunya egois, dan Hikari adalah teman masa kecil yang selalu ada di sisinya. Pasangan Raja dan Ratu.

“Kei!” Lizie langsung menyikut perut kekasihnya sebal, sukses membuat sang lelaki mengaduh pelan. “Kau benar-benar tidak bisa lebih sopan sedikit pada orang lain, ya?”

“Aku akan tetap menunggu Tobi-chan, Tsukishima-kun,” Hikari menjawab dengan tenang seraya mempertahankan senyum, sebelah tangan melambai sekilas sebagai isyarat pada Lizie bahwa ia maklum dengan cara bicara si pemuda jangkung yang memang penuh garam. “Kalian berdua sebaiknya duluan saja.”

“Dah!” Lizie mengulas senyum pada Hikari, lantas menjajarkan langkah kakinya dengan Tsukishima. Tidak butuh waktu lama sampai gadis itu membuka mulut guna mengomel, “Kau ini benar-benar menjengkelkan, ya, Kei.”

“Oh, ya?” Lawan bicaranya tampak tidak berniat menanggapi secara serius, tetap memandang lurus ke depan, acuh tak acuh.

“Iya. Benar-benar tidak ada manisnya,” cibir Lizie seraya mempercepat langkah, berniat mendahului kekasihnya itu. “Lagipula Kageyama dan Hikari itu teman masa kecil, menurutku mereka manis. Jangan suka merusak suasana, dong.”

Dengusan pelan keluar dari pihak adam. “Untuk apa aku peduli?”

“Dasar, Kei payah.” Lizie menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski begitu, detik berikutnya pemilik netra biru tersebut melepas tawa kecil, gemas sekaligus tak habis pikir dengan sikap sang kekasih.

Sama sekali tidak menyadari lirikan dari Tsukishima, yang meski terkesan datar namun diam-diam senang memperhatikannya.

enigma ⋮ tsukilizieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang