Bagian Empat Belas (SWM)

398 47 8
                                    

"Tidak menjemput keponakan?" Dokter Jo menyodorkan segelas kopi pada rekan sejawatnya, Jim Jeremy. Beberapa hari ini laki-laki itu sering pamit lebih dulu.

"Suaminya sudah pulang," jawab Jeremy seraya menerima kopi tersebut. Menyeruputnya pelan. Matanya awas memandang gedung di depan, di mana bangsal baru akan dibangun.

"Keponakanmu sudah menikah?" Dokter Jo tampak syok, gadis yang diakui keponakan oleh rekannya tersebut masih tampak belia.

"Ya, dia sudah menikah," jawab Jeremy seraya tersenyum, memaklumi ketidak-percayaan temannya itu.

"Kukira masih SMA?"

"Dia memang menikah muda, delapan atau sembilan belas tahun ya?" Jeremy malah bertanya pada dirinya sendiri.

"By the way, pasien yang kamu minta aku untuk menanganinya, kalau boleh tahu dia siapa?" Jo tiba-tiba membelokkan topik. Tak mau ambil pusing dengan umur keponakan Jeremy.

"Sahabatku," jawab Jeremy singkat.

"Apa dia punya keluarga?" Jo semakin ingin tahu.

"Punya." Lagi-lagi hanya satu kata.

"Kenapa tidak pernah dijenguk?"

Jeremy menoleh, "aku menyembunyikannya."

"Alasannya?"

Jeremy tidak menjawab, enggan bercerita. Lagi pula dia berniat merahasiakan dari semua orang.

Mengabaikan temannya, Jeremy memilih pamit dan segera berlalu. Laki-laki itu beralasan waktu istirahatnya habis dan harus kembali ke ruangan atau asisten perawatnya mengomel.

...

Ketika Jeremy datang, baru ada Aero dan Keisya yang tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Terlihat sedang berperang dingin. Sebagai seseorang yang tahu banyak hal, dia tak habis pikir, harusnya sepasang manusia itu menampilkan kemesraan. Bukan sebaliknya. Kemarin kan sudah berdamai?

"Di mana Okto?" Jeremy menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap ada yang bisa melepaskannya dari suasana yang canggung seperti sekarang.

"Masih di kantor," jawab Aero tanpa mengalihkan pandangan dari jendela. Menghindari bertatap muka dengan sang istri yang menikmati satu cup es krim rasa cokelat.

"Hans?" lanjut Jeremy mengabsen.

"Di jalan," jawab Aero lagi. Dan suasana kembali lengang. Jeremy benar-benar mati kutu, tidak tahu harus bicara apa.

Selang beberapa menit, Hans tiba. Disusul Okto yang masih memakai setelan kerja, lengkap dengan jas abu-abu. Ketiganya saling lirik dan memberi isyarat mengenai keadaan yang hening mengcengkam. Sementara Jeremy hanya mengendikkan bahu.

"Ngumpet di mana?" Hans menggeser kursi, mendudukinya.

Aero menoleh, bersungut. Okto terkekeh.

"Apa kabar, Sayangku?"

"Baik, Om." Keisya tersenyum seperti biasa. Demi melihat itu, Aero menatap tajam. Okto tidak peduli, dia suka melihat sepupunya cemburu.

"Aku punya sesuatu untukmu." Hans menaruh paperbag biru tua dengan hiasan pita senada.

Keisya berseru riang menerima, serta tak sabar untuk membuka.

"Wah, cantik sekali!" Keisya berterus terang. Dia menerima sepatu yang sejak dulu diidamkan, tapi karena tidak mau membebani Aris dia mencoba menabung sedikit demi sedikit. Namun sesuatu terjadi dan membuatnya melupakan keinginan tersebut. Tak disangka hari ini dia mendapatkannya dari Hans.

"Tak sebanding denganmu yang cantik." Hans mengulum senyum, diam-diam melirik Aero yang makin panas karena ulah sahabat-sahabatnya dalam menggoda Keisya, di hadapannya langsung. Tanpa merasa bersalah.

STAY  with  MeWhere stories live. Discover now