“Jadi?”
Tanyanya dengan mengangkat sebelah alisnya. Kutelan kembali cairan asam itu melewati tenggorokanku dan memulai untuk bicara.
“Aku sedang berpikir.”
“Berpikir? Apa yang kau pikirkan?”
“Kita sudah pacaran hampir satu tahun, sudah sering pergi kencan dan menghabiskan waktu bersama, kan?”
“Ya, kalau kau bilang begitu... lalu?”
“Lalu, aku berpikir keras. Apa kita pernah ciuman?”
Wajahnya langsung memerah. Gelagatnya jadi serba salah. Tentu saja dia akan gugup dan panik ketika aku mengangkat masalah ini sekarang.
“Jadi, apa kau mau berciuman sekarang?”
Pertanyaan konyol mendadak kulontarkan padanya, yang sukses membuatnya tambah merah dan tambah panik. Mulutnya gemetar, berusaha mengucapkan satu kalimat, tapi kurasa dia tidak bisa mengucapkannya.
“Emm, begitu yah. Kurasa kau masih belum bisa yah.”
Kualihkan pandanganku darinya. Dan berniat untuk menghentikan basa-basi ini segera.
“Ba-baiklah...”
Eh? Tadi, apa yang digumamkan Yuuko? Samar-samar namun cukup jelas aku mendengar dia bergumam ‘baiklah,’ tapi apa itu hanya khayalanku saja?
“Hah?”
Kupasang wajah bertanya-tanyaku padanya. Menunggu jawabannya yang lebih jelas. Tapi lama kunanti jawaban itu belum juga keluar, Yuuko masih sibuk menenangkan dirinya sendiri.
Ditariknya nafas dalam, dan menghembuskannya perlahan. Mata kami pun dipertemukan, kupandangi mata coklat penuh kepastian itu.
“Baiklah.”
Jawabnya tegas. Kemudian dengan sedikit malu dan tertunduk dia melanjutkan.
“Aku juga tidak mengerti, tapi aku merasa ciuman ini sangat penting untukmu. Karena itu...”
Kunantikan kalimat yang ingin diucapkannya lagi dengan sabar.
“A-a-aku... aku belum pernah berciuman sebelumnya... jadi... mungkin... anu...EH?!”
Kupotong keragu-raguannya itu dengan mengangkat dagunya pelan dengan tangan kananku.
Tanpa menunggu persetujuannya kutempelkan bibir ini pada bibirnya.
Kaget, kurasa itulah yang dirasakannya saat ini ketika tiba-tiba kedua bibir kami sudah bersatu. Jantungnya terdengar berdetak sangat kencang seperti bunyi derap langkah kuda pada arena pacuan. Sekian detik kemudian, ketegangannya berkurang dan kurasakan dia menikmati sensasi nyaman di mulut kami.
Inikah rasanya berciuman? Rasanya seluruh tubuhku mendidih, detak jantung ini liar dibuatnya, sensasi hangat dan rasa yang manis menyebar di mulutku. Bagaikan dua kutub magnet berbeda yang saling tarik menarik, ciuman ini terasa berat untuk dilepaskan.
Tapi ciuman ini harus dilepaskan segera. Jika tidak orang yang berada di sisi lain ciuman ini akan jatuh pingsan karena kepanasan. Perlahan kujauhkan bibirku, dan begitu pula dia. Dari jarak sedekat ini, kurasakan hangat nafasnya yang tersengal. Sekali lagi tatapan kami bertemu, hanya dengan menatapnya tergambarkan rasa senang dan malu dalam hatinya.
Kali ini kumundurkan wajahku sepenuhnya, dan akhirnya fantasi dalam dunia kami ini pun berakhir. Sesaat setelah kami terhubung kembali dengan dunia, saat itulah kami sadar bahwa banyak mata memandang ke arah kami. Wajar, karena kami berciuman di tengah jalan yang banyak dilalui oleh orang-orang. Dengan sikap cuek aku mengabaikan semua tatapan itu. Tapi, kurasa Yuuko tidak bisa melakukannya, rasa malunya sekarang telah melewati batas, kepalanya mendidih mengeluarkan uap, menjebak dirinya dalam dunia lain bernama lamunan.
“Yuuko.”
Kusadarkan dia dari lamunannya.
“A-a-a-a-ada-ada-ada apa?”
Kuberikan senyuman hangatku untuk menenangkannya. Kupegang ubun-ubunnya dan mengusapnya pelan.
“Sekarang aku harus pergi.”
Ucapku dan dibalas dengan pandangan kaget yang seakan berkata ‘Eh?’
“Apa maksudmu?”
“Akan kujelaskan nanti, sudah yah!”
Aku pun berbalik ke arah yang telah kami lalui sebelumnya, menginjak tanah dengan kuat dan berlari sekencangnya menembus angin malam yang dingin. Sempat kudengar Yuuko berteriak memanggil namaku, tapi kali ini aku tidak bisa berbalik. Aku harus meninggalkannya kai ini untuk bisa menyelamatkannya.
Jadi, untuk apa ciuman tadi?
Tidak ada alasan yang pasti untuk itu. Aku hanya ingin merasakan ciumannya, untuk pertama kalinya sebelum tugas berat yang akan kuemban ini. Aku tidak begitu yakin apakah kesempatan seperti ini akan datang padaku lagi kelak, bahkan setelah aku berhasil menyelamatkannya.
Kurang lebih tiga menit aku berlari, sampailah aku di depan gedung apartemenku. Jawaban semua masalahku berada di sini. Tepatnya di kotak suratku. Ya, jawabannya adalah benda itu–reset button. Benda inilah jawaban yang selama ini kucari dalam seribu kali pengulangan.
Pada pengulanganku sebelumnya, aku sempat kembali ke apartemen ini dan mendapati reset button sudah ada di kotak suratku. Itu berarti reset button telah ada di sini sejak lama, mungkin sebelum aku berangkat pergi menjemput Yuuko alat ini sudah ada di sana.
Lalu apa maksudnya? Tentu saja akan kupakai alat ini untuk kembali ke masa lalu lagi. Walau hanya mundur setengah jam, tapi jika dipakai dua kali maka aku bisa mundur sampai satu jam bukan? Karena itulah aku di sini, mencoba untuk mundur ke setengah jam sebelumnya lagi.
Kubuka kotak suratku, dan paket itu memang ada di sana menanti untuk kupakai. Kubongkar paket itu dan mengambil reset button di dalamnya. Sekali lagi kuaktifkan alat itu dan mengirim kesadaranku ke masa lalu.
Rasa pusing dan mual mengikuti sesaat setelah tombol kutekan. Pikiranku serasa melayang dan terombang-ambing tidak karuan. Perasaan ini sama seperti ketika menaiki sebuah kapal yang mengarungi lautan bergelombang. Nafasku mulai terasa sesak, dan sedetik kemudian pemandangan di hadapanku berubah.
Aku kini berada di sebuah lift. Ya, ini adalah lift yang akan kupakai untuk turun ke lantai dasar gedung apartemenku. Sebelum pintu lift tertutup secara otomatis, aku pun menyelip keluar dari lift itu. Seperti yang kuharapkan, aku kembali tepat sebelum aku pergi menjemput Yuuko. Tahap pertama telah sukses.
Sekarang adalah tahap kedua. Satu jawaban lainnya yang kutemukan untuk menghancurkan paradox waktu ini ada di lantai ini. Ya, di lantai yang sama tempat ruanganku berada di gedung apartemen ini. Tepatnya di ruangan nomor 205, ruangan apartemen milik Akane Tachibana.
YOU ARE READING
Reset Button
Science FictionJika orang yang sangat kau sayangi mati di depanmu, dan kau punya kesempatan untuk mengulang waktu kembali. Apakah kau akan menyelamatkannya?
Chapter 8: Resolve
Start from the beginning
