➳ Detached

122 18 9
                                    

"Mukanya kok ditekuk?" protesku.

Yang tengah lesu itu namanya Kalisha, bukan pacar, cuma sekadar teman super duper dekat. Gadis itu sedang duduk di sofa ruang keluargaku sambil, sementara aku malah duduk di karpet—macam pembantu di sebelah majikan. Maklum saja, Kalisha agak sinting, duduk di sofa enggak enak pas makan karena jauh dari meja, tapi dia tetap ngotot. 

Kalisha menatapku dalam, menaikkan alis, tapi tidak lupa untuk menyantap pasta. Orang-orang melihat wajah Kalisha seperti ini seringnya mengira ia hanya butuh waktu sendiri setelah hari panjang, tapi aku cukup tahu lebih banyak. Antara ia belum tidur, kurang makan, atau—yang paling memungkinkan sekarang—ada kolomonimbus yang membayangi sudut gelap otak Kalisha.

Keningnya berkerut untuk menyembunyikan roda otaknya yang panas berpikir—untuk mengaku atau mencari dalih. "Lagi mikir."

"Mau cerita, enggak?"

Ia mendesah. "Enggak penting."

Tumben sekali Kalisha berpikir sampai kelihatan kecapean. Kemudian aku ingan kejadian tadi pagi ... dosen muda yang dekat sama Kalisha jalan sama perempuan asing. Jangan-jangan. "Mikirin Pak Garda?"

"Ya, enggaklah, Dam. Jangan buat gosip dong."

"Kalau enggak penting, cerita aja, gue rela dengerin ocehan lo selama 1001 malam."

Kalisha enggak langsung menjawab. Kutebak dari wajahnya ia ingin berkata tidak, tapi hatinya ingin iya; sekarang dua sisi dalam dirinya sedang bertarung. Kubiarkan ia berkontemplasi lebih dahulu, sementara aku melanjutkan makan—mumpung masih hangat. Mungkin terlihat acuh tak acuh, tapi ini trik—yang cocok diaplikasikan ke beberapa individu. Menurutku memaksa banyak orang bercerita hanya mendorong mereka menjauh, juga kata-kata yang mekar liar lebih ala-kadarnya, dibanding frasa yang tumbuhnya dipandu. Dan dengan begitu—tanpa usaha, tanpa suara—aku selalu berhasil memicu minat Kalisha.

"Ini soal obrolan kita minggu lalu."

Seandainya saja Kalisha bicara di waktu lain, mungkin aku bakal pusing bukan kepalang. Kami mengobrol dari matahari terbit sampai tenggelam, hampir setiap hari, terlalu banyak topik perbicangan—dari teh manis kampus sampai kucing tetanggaku yang baru lahiran. Namun ada yang menarik dari minggu lalu. Aku, Kalisha, dan kakakku ngobrol soal keluarga, soal enak enggak enak jadi anak tertua, tengah, dan tunggal. Perbincangan tersebut berakhir baik-baik, tidak ada debat beda pandangan, paling-paling setetes air mata—yang pasti bukan dari aku.

Mengapa tiba-tiba Kalisha memikirnya? Aku diam, menanti ia melanjutkan.

"Idham, enggak ada yang tahu apa-apa soal gue dan keluarga."

Aku niat bercanda, tapi langsung kuurungkan. Paras Kalisha serius banget. "Termasuk gue?"

"Termasuk lo." Kalisha mengulas senyum masam. "Tapi gue mulai capek pura-pura sama lo."

Nafsu makanku langsung digilas habis oleh keterkejutan dan kebingungan. Aku juga sedikit gusar, kecewa, dan sedih. Namun tidak adil untuk merasa sakit hati, sementara Kalisha berusaha terbuka. Ada geming yang tercipta sejenak sampai aku kembali mengontrol emosi, melembut dan dengan suara paling menenangkan—yang bisa aku berikan. "Lo pura-pura apa?"

"Pura-pura kalau gue sama ibu ayah gue baik-baik saja."

Keningku berkerut, tapi tidak ada frasa yang kuucap dan pandang halusku menohok iris Kalisha; menanti jawab.

"Gue selalu cerita sama orang tentang kami dengan nada manis. 'Wah gue gak bisa relate sama cerita yang orang tua makan daging di tulang ikan, sementara anaknya dikasih daging banyak. Soalnya keluarga gue sama-sama ngerebutin kepala dan ekor.' Kemudian gue tertawa. Atau soal gimana soal ibu yang khawatir anaknya pulang malem sampai ngancem mau ngunciin rumah, gue malah berbangga ibu santai dan gue dikasih kunci.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Obrolan di Atas Cangkir TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang