"Kau tidak ingin ke dokter sementara minum obat pun kau tidak mau. Apa kau mau terus kesakitan seperti ini sampai pagi?"

Untuk pertama kalinya Andrew terpaku memandangi Abigail. Pasalnya baru kali ini wanita itu menunjukkan kekesalan padanya. Persis sekali seperti Hanna yang mengomelinya setiap kali ia terlambat pulang karena lembur.

"Tunggu sebentar!"

Abigail berjalan keluar kamar Andrew dengan perasaan kesal bercampur cemas. Sudah tahu sedang sakit, seharusnya sejak tadi Andrew menghubungi dokter ataupun meminum obat. Bagaimana jika tadi Abigail tidak datang? Pria itu pasti merasakan kesakitan seorang diri.

Tidak, Tidak! Itu terlalu menyedihkan. Membayangkannya saja Abigail tidak tega. Cukup ia saja yang mengalaminya.

Abigail membuka lemari tempat penyimpanan obat. Selain P3K, di sebelah kotak obat Hanna, ada satu kotak yang berisi obat-obatan lain untuk gejala yang tidak terlalu berat seperti obat demam, pusing, mual ataupun yang lain.

Setelah membaca satu per satu penjelasan yang menempel di label obat itu, pilihan Abigail jatuh pada sebuah obat tablet dalam kemasan berwarna biru. Abigail sengaja tidak membangunkan Hanna. Ia tidak ingin mengganggu tidur Hanna dan membuat wanita paruh baya itu khawatir.

Tujuh menit kemudian Abigail kembali ke kamar Andrew dengan membawa wadah berisi air hangat untuk kompres serta air mineral dan obat.

"Minum obatnya dulu!"

Setiap pergerakan Abigail tak lepas dari perhatian Andrew. Saat Abigail membantunya duduk untuk meminum obat lalu membantunya kembali merebahkan diri.

Seharusnya Andrew menolak mengingat betapa bodohnya wanita yang sedang mencoba membantunya ini. Bisa saja obat yang diberikan Abigail bukan obat demam seperti yang dibutuhkannya. Tapi alih-alih menolak, Andrew hanya bisa pasrah karena tubuhnya masih sangat lemas dan terus menggigil.

Dengan terampil, tangan Abigail mengompres kening Andrew. Satu hal baru lagi yang Andrew dapatkan dari Abigail. Ekspresi wanita itu saat sedang serius seperti ini.

"Aku tidak menyangka, satu hari berpisah dariku bisa membuatmu sangat merindukanku seperti ini."

Rupanya Abigail menyadari tatapan lekat Andrew yang sejak tadi tak terlepas darinya. Abigail tertawa. Entah kenapa kali ini tawa wanita itu terdengar sangat renyah dan jauh dari kata menyebalkan. Hell, sepertinya ini efek dari kepala Andrew yang masih berdenyut.

"Jangan bekerja terlalu lelah lagi, Hon! Aku lebih suka melihatmu marah-marah padaku dibandingkan aku harus melihat wajah kesakitanmu seperti ini."

Abigail mengarahkan tangannya ke pelipis Andrew, memijatnya dengan sangat lembut. "Dulu ibuku selalu melakukan ini setiap kali aku sakit. Dan rasanya selalu menenangkan."

Benar. Sangat menenangkan hingga membuat mata Andrew terpejam menikmati sentuhan tangan halus Abigail.

"Kau tahu, setiap kali aku sakit maka telingaku juga harus siap ikut sakit karena harus mendengar omelannya,"

Abigail berbicara sembari tetap memijat pelipis Andrew. Sesekali ia juga membasahi handuk kecil yang digunakan untuk mengompres kening pria itu. Tiba-tiba saja Abigail sangat merindukan ibunya.

"Berbeda dengan ayahku, sekalipun aku hanya demam biasa tapi dia selalu memperlakukanku seperti orang sekarat yang tidak bisa melakukan apapun. Karena itu, aku dan ibu sering menertawainya karena memiliki tingkat kecemasan yang berlebihan."

Rupanya tak hanya ibunya, Abigail juga merindukan sosok ayahnya yang dulu. Abigail mengembangkan senyumnya saat kenangan indah itu melintas di kepalanya.

"Walaupun begitu, aku tahu mereka berdua sangat menyayangiku. Mereka hanya memiliki cara berbeda untuk menunjukkan rasa cintanya kepadaku."

Walau mata Andrew terpejam, namun telinganya masih bisa mendengar jelas setiap kalimat yang diucapkan Abigail. Andrew hanya memilih diam dan membiarkan wanita itu terus melontarkan ungkapan kerinduannya pada kedua orangtuanya.

Entah karena efek obat atau karena sentuhan tangan Abigail lah yang membuat denyutan di kepala Andrew berkurang serta tubuhnya berhenti menggigil. Yang pasti kondisi tubuhnya tidak lagi seburuk saat sebelum Abigail datang kesini.

Andrew merasa pijatan Abigail terhenti sebelum tangan wanita itu menjauh dari pelipisnya. Beberapa detik kemudian, ia merasakan ranjangnya bergoyang disusul dengan tarikan selimut serta sebuah pelukan erat di tubuhnya.

Walaupun Andrew sudah sangat tahu siapa pelakunya, namun ia tetap membuka mata untuk melihatnya secara langsung. Benar saja, kini Abigail terlihat memeluk Andrew tepat seperti seorang ibu yang memeluk anaknya.

Jika saja dalam kondisi tubuhnya normal, maka Andrew pasti akan langsung mendorong tubuh Abigail. Sayangnya sekarang ia hanya bisa melakukan aksi protes dengan suaranya yang lemah.

"Abey!"

"Ibuku juga selalu melakukan ini saat aku demam. Katanya ini sangat ampuh untuk membagi panas tubuh kita."

"Tapi⸻"

"Ssttt..Tidurlah!"

Andrew ingin kembali menolak. Ini terasa asing, tapi lagi-lagi berhasil menghantarkan ketenangan untuknya. Saat bagaimana Abigail mengusap kepalanya, saat dimana aroma vanilla memenuhi penciumannya dan saat sebuah kecupan lembut menyentuh bibirnya.

"Mimpi yang indah, Hon! Aku mencintaimu."

*****

Manis2 dulu yaa 😍😍😍

Masa iya sedih terus. Wkwk....

Thankyou vote dan komentarnya, Guys 😘😘😘

Hello, Miss.A!حيث تعيش القصص. اكتشف الآن