(15) Kesempatan

37 3 9
                                    

~Sebuah pilihan yang tidak akan hadir di setiap saat dan mungkin tidak akan datang lagi.~

Kegiatan di depan notebook itu merupakan hal yang paling menyenangkan dalam hidupku. Aku bisa bebas menjelajah berbagai bakat yang terpendam meskipun berjam-jam dan membuat efek mata panda menyipit. Namun jika kondisinya bakalan selalu diomeli Mama. Aku akan beringsut ke gawai.

Sayangnya pengalihan ke gawai itu membuatku lebih betah dan enggak beralih kembali ke notebook. Yap, semua draft menulisku ada di gawai semua. Sedangkan aku sudah terlanjur malas memindahkannya yang membutuhkan banyak waktu.

Aku mencicipi donat buatan Kanaya. Hal yang terecap di lidah adalah manis, gurih, dan rasanya enak. Seperti ada sentuhan sepenuh hati dalam proses pembuatannya. "Nay sudah sering buat donat ya?"

Kanaya masih tersenyum malu-malu merasa enggan memberikan jawaban. "Hm, pas lagi senggang saja Ra."

"Ya, setidaknya seminggu sekali bisa menikmati donat buatan Kanaya sih," timpal Fatia.

Hm, jawaban yang ambigu. Meskipun aku mengerti maksud percakapan ini. Sepertinya kemampuan menulisku mampu membuatku lebih peka dalam menganalisis keadaan. Tetap saja bagiku ini terlalu rutin. Rasanya semangat Kanaya tidak pernah pudar. "Enggak bosan Nay?"

Kanaya menggelengkan kepala. "Enggak ada yang membosankan untuk sebuah hobi dan apa yang saya sukai. Sepertinya ini juga berlaku untuk semua orang deh."

Seperti ada sentilan yang mengenai jantungku. Aku bahkan belum pernah merasakan di situasi yang seperti itu. Orientasiku hanya terpatok di kata 'bosan' saja. Ah, jangan-jangan aku memang belum menemukan suatu hal yang membuat diriku tidak jenuh saat ini. "Nay, enggak kepikiran untuk berbisnis kuliner suatu hari nanti?" tanyaku penasaran. Ya meskipun semua hobi enggak harus dijadikan sebuah penghasilan. Termasuk kegiatan menulis yang kujadikan terapi jiwa terpendam. Meskipun begitu, aku selalu berharap bahwa kegiatanku ini dapat memberikan hasil untuk kesejahteraan hidupku di kemudian hari.

"Ada sih Ra. Rencana saat mendekati semester akhir gitu, sepertinya punya waktu lebih fleksibel saja."

Fatia menelengkan kepala menuju Kanaya. Tatapannya begitu dalam. "Hey, kenapa enggak bilang padaku lebih dulu Nay?" tegurnya tidak mau kalah. "Ah, jadi kalah infokan."

Kanaya hanya tersenyum dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia kembali melemparkan pandangan secara bergantian. "Bukan gitu, hanya saja belum ada pertanyaan itu sebelumnya."

Entah kenapa aku seolah merasakan 'aku pikir tidak ada rahasia di antara kita'. Ternyata masih ada privasi yang mungkin belum terucap. Mungkin saja belum saatnya saja. Ada kalanya sebuah rahasia itu hanya diri kita yang tahu. Ya, seperti aku ini. Pemalas dan acak adul. Tapi jujur deh, alasan Kanaya itu begitu halus. "Eh, sudah kukirim ke e-mail ya," ucapku lebih dulu sebelum Fatia menyuarakan protesnya. Bisa gawat hanya karena pertanyaanku membuat mereka menjadi perang sinobi.

"Eh, iya. Tumben cepat Ra."

Aku menyengir kuda mendengar penuturannya. Fatia sudah tahu benar kalau aku sering mengumpulkan tugas terlalu lama di kelas. Entah kenapa aku lebih puas jika menjadi orang yang paling belakang saat itu. Tetapi melihat kegigihan Kanaya, rasanya aku ingin berjuang dan menuntaskan mimpi dengan cepat. "Hehe, kayaknya aku mau pulang cepat nih. Biasalah anak Mama," ucapku seraya melirik jam tangan cokelat yang kukenakan. Entah kenapa jika disandingkan dengan detak yang berbunyi membuatku sadar ada yang sedang menunggu. Mamaku selalu khawatir meskipun omelannya telah merambat ke seluruh penjuru dunia.

Namun, sebelum itu aku ingin mengecek notifikasi gawai terlebih dahulu. Sepertinya gagal lagi deh mengerjakan laporan besok. Jadwalku malah terlanjur kupadatkan.

Fatia juga ikutan mengecek gawainya dan membulatkan kedua bola mata. "Ra!"

"Iya?"

"Ada info lomba MTQ dan MKQ nih. Mau ikut ke salah satunya nggak? Kalau mau biar kukasih tahu sama komting untuk perwakilan kelas kita. Gimana, mau enggak Ra?"

Semoga saja aku tidak salah dengar kali ini. Aku sungguh senang kalau ada yang mengajakku turut meramaikan kompetisi. Sebenarnya aku juga sudah punya beberapa pengalaman dalam bidang tilawah. Hanya saja, kalau dalam bidang tarik suara. Aku tidak mendapatkan nominasi kejuaraan. Itu saja sudah membuatku menyadari bahwa suaraku itu termasuk kategori ancur. Kucing kejepit sih kalau sudah memasuki lagu Jawabul Jawab. Meskipun asumsiku belum sepenuhnya benar. Hanya saja, itu kesanku saat mendengar rekaman suara sendiri. Gimana kalau aku mencoba peruntungan yang lain saja? "Aku mau nyobain bidang kaligrafi saja deh," ucapku spontanitas. Duh, seharusnya aku berdiskusi terlebih dahulu antara hati dan perasaan. Kebiasaan deh, kejadian ini terulang lagi. Fix, aku belum pernah mengikuti ini sebelumnya. Tapi aku masih punya abang Zain yang sering berkecimpung semasa sekolah dulu. Semoga saja ia dapat membantuku untuk mempersiapkan diri.

"Ya sudah, kucatat namanya ya Ra." Fatia mencoba meyakinkan dengan tatapan serius. Ini menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan tidaklah main-main.

Berbeda sekali denganku yang masih memiliki jiwa ingin mencoba dan lepas tanggung jawab jika berada di puncaknya. Parahnya, aku tidak menyadari kondisi itu dan tidak mengevaluasinya lebih dini. Benar juga kata Kanaya. Seharusnya aku mengadopsi saja istilah 'sebaiknya lebih dini'. Aku mengangguk meskipun ada rasa yang tercekat di dalam dadaku.

"Wuah, keren itu Ra. Semangat berjuang ya." Kanaya mencoba menyemangati meskipun berbeda dari bidang yang ia geluti.

Aku tahu sekarang. Perbedaan itu tidak serta merta membuat diri merasa minder. Justru merasa berwarna. Ya, walaupun aku juga memiliki keinginan seperti Kanaya yang jago masak suatu hari nanti. Cara dia memperlakukanku justru tidak mengucilkan. Eh, aku kok malah lebih penasaran sama Kanaya dibandingkan dengan Fatia sendiri ya. Padahal, aku lebih dulu mengenal Fatia. Apa mungkin memang selalu begini ya? Aku akan lebih penasaran pada hal yang jauh dari dugaanku. Seperti Kanaya dan Mukhlis contohnya. Tuh kan, makhluk astral itu datang lagi di kosakata percakapanku. Mode sebal deh. Sebaiknya aku segera bersiap-siap untuk pulang sebelum semakin betah di sini dan malah diomeli Mama nanti. Aku menutup notebook dan memasukkan ke dalam ranselku dengan asal.

"Teman-teman. Aku enggak bisa memberikan harapan yang besar untuk PKM ini. Kalian tahu kan kalau enggak semuanya bakalan didanai. Tapi yang terpenting kita sudah berusaha terlepas dari apapun hasilnya. Untuk itu, aku membutuhkan doa kalian semoga saja kelompok kita akan masuk ke tahap selanjutnya," pesan Fatia.

Aku baru saja memakaikan ransel. Sedangkan Kanaya baru selesai mengirimkan tugasnya via e-mail. Ah, entah kenapa ada rasa pesimis yang menyemai atmosfer kali ini. "Insyaa Allah, aku akan berdoa yang terbaik untuk kelompok kita. Walaupun begitu, aku sudah bahagia bisa bertemu kalian berdua." Senyumku mengembang, seakan ingin menyembunyikan hati yang telah patah saat baru berjuang. Hanya saja aku sering mengalami hal ini. Bahkan mendapatkan bulan-bulanan ocehan dari kelurgaku sendiri saat menerima kegagalan.

"Kita akan selalu menjadi tim, terlepas dari apapun itu keadaannya," cetus Kanaya dengan senyuman mengembang.

Hangat, itu yang kurasakan di pipiku saat ini dari setetes air mata. Bahagia dan sedih yang disandingkan ini membuatku sedikit bingung. Kami bertiga saling berpelukan ketika Kanaya merentangkan kedua tangannya.

Bersambung

Physics Not DoctorsWhere stories live. Discover now