Sebenarnya konter HP B berada tak jauh dari rumahku, cukup melewati dua blok aku akan sampai di konter langganan dekat jalan raya. Berhubung cuaca hari ini panas sekali, aku harus menggunakan sepeda sebagai solusi mengurangi durasi merasakan teriknya sinar matahari. Lagi pula grup kelas masih heboh mengadakan acara mengghibah, aku tidak boleh ketinggalan momen-momen langka seperti ini.

Sesampainya di tempat tujuan, seketika aku menggerutu. Konter B tutup sampai dua minggu ke depan karena ada keperluan mendadak di luar kota, kata kertas yang tertempel di pintu konter. Padahal pemerintah sudah menghimbau warganya jangan pergi ke luar kota.

Kalau sudah begini aku harus mengayuh sepeda lebih lama lagi ke konter lainnya. Jaraknya lumayan jauh dari konter B ini; sekitar 1 km. Bila diubah ke satuan cm maka menjadi 100.000 cm. Jika jari-jari ban sepeda 35 cm, maka kelilingnya adalah 220 cm. Dan bila 100.000 cm dibagi 220 cm, artinya aku butuh kurang lebih 454 kali kayuhan agar sampai ke konter C. Itu menyusahkan lagi menyebalkan, tapi harus kulakukan demi paket data.

Akhirnya aku mengayuh sepeda sekali lagi sambil terus menggumamkan angka-angka demi melepas kebosanan. Kulewati jalanan yang masih ramai-ramai saja selama pemberlakuan lockdown. Sekali-kali kuseka keringat yang mengucur melewati pelipis dan leherku sambil terus berhitung.

"Empat ratus lima puluh tujuh."

"Empat ratus lima puluh delapan."

"Empat ratus lima puluh sembilan--kok kelebihan, ya?"

"Empat ratus enam puluh. Akhirnya!"

Segera kusampirkan sepeda setelah kujagang sebelumnya, lalu menuju ke mbak penunggu konter tersebut yang tengah menonton televisi mini di pojokan etalase sambil mengibaskan kipas plastiknya. "Inject Telkomsal, Mbak. Nih nomornya," ujarku sambil menyodorkan nomor telepon.

"Enggak bisa, Dek, Telkomsal mulai kemarin gangguan jaringannya," katanya santai, "besok-besoknya datang lagi ke sini dah."

Tentu aku menolak menuruti apa kata Mbak penjaga, spontan aku sedikit ngoyo memintanya untuk mengecek jaringan sekali lagi, lagi, dan lagi. Baru di percobaan keempat aku angkat tangan dan menyimpulkan bahwa hape butut yang selama ini menjadi alat transfer pulsa konter C adalah biang keroknya. Sangat mustahil bila Telkomsal mengalami ganggungan jaringan jika bukan karena hape-nya yang mulai ketinggalan jaman. Daripada berdebat, aku segera pergi dari konter C menuju ke konter D yang jaraknya kurang lebih 509 meter dari sini.

Kali ini aku tidak mau menghitung berapa kali kayuhan agar sampai ke konter terakhir di desa ini. Aku sudah terlalu kesal untuk berkomat-kamit, kedua kakiku mulai kesemutan akibat jarangnya berolahraga, napasku tinggal satu dua saat tiba di depan muka konter D--di mana etalase pembatasnya disesaki oleh orang-orang yang turut membeli paket data.

Sebagai salah satu warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya, aku turut menjejalkan diri di antara orang-orang dewasa yang tak mau kalah menunggu antrean. Kusandarkan tubuhku ke satu-satunya celah kosong yang tersisa tanpa berminat menggeser tubuh sekadar satu inchi. Aku sudah tidak peduli lagi dengan pantangan yang diberlakukan oleh pemerintah, pokoknya aku mau paket data!

Jadi begini, aku tidak tahu apa karena dua konter sedang tidak bisa melayani pelanggannya atau memang rejekinya si konter D, hanya saja semakin aku menunggu orang-orang yang meminta pembelian segera ditangani, semakin bertambah saja jumlah pelanggannya. Sementara aku sendiri mulai terhimpit di antara dua badan gempal bapak-bapak yang terus memanggil-manggil.

"Oh ayolah, ini 'kan cuma konter HP kenapa jadi rame banget, sih!" desisku jengkel. "Mbak mbak! Aku mau beli paket Telkomsal 4 GB! Oi Mbak!"

"Yang sabar ya, Dek, masih ngantre ini," kata salah seorang bapak di sampingku.

Heh bapak ini sendiri juga tidak kalah keras suaranya memanggil salah satu dari dua orang penjaga konter yang kewalahan menangani. "Iya, Pak, saya cuma rada getol aja sama orang-orang di sini," balasku sedikit menaikkan satu oktaf suara agar tak kalah dari ocehan orang-orang di sini.

"Maklum, Dek, besok konter ini mau ditutup sampai empat minggu ke depan. Pemiliknya mau cepat-cepat pulang kampung ke Garut sebelum dilarang sama pemerintah." Sejenak ia mengusap peluh di keningnya. "Jadi ketimbang dicekal mending mudik duluan walau puasa masih belum datang."

"Huh? Kalau gitu--"

Ucapanku terpotong karena perhatianku beralih ke etalase paling ujung, beberapa orang di ujung sana berteriak kecil dan mulai kocar-kacir meninggalkan konter. Saat kupanjangkan leher untuk melihat apa yang tengah terjadi di sana, ternyata seorang bapak-bapak tergeletak begitu saja di lantai keramik yang menjadi tempat pijakan sandal dan sepatu orang-orang.

Kebanyakan orang mulai menyingkir perlahan dan menuju ke pinggir trotoar jalan sambil terus menutupi hidung dan mulutnya dengan kerah baju, beberapa orang lainnya mengurungkan niat membeli paket data lantas meninggalkan tempat kejadian, salah satu dari penjaga konter cekatan menelpon pihak berwajib untuk memeriksa keadaan seorang bapak yang tiba-tiba pingsan.

Beberapa lainnya ragu-ragu hendak mendekati bapak malang yang tergeletak tak berdaya dan salah satunya adalah aku. Saat aku mencoba untuk menolong bapak tersebut, seorang bapak yang baru saja mengajakku mengobrol menarikku mundur dari konter lantas menyuruhku segera pulang. Katanya berbahaya, takut-takut bila nanti aku terkena virus Cornana.

Dengan perasaan kecewa yang luar biasa, akhirnya aku mundur pelan-pelan dari satu-satunya konter yang kuandalkan. Aku menggenjot sepeda sambil terus memasang ekspresi kusut masai di balik masker yang menutupi sebagian wajah.

Pulang-pulang ke rumah, Ibu menyambut dengan pertanyaan kenapa aku pergi lama sekali. Kukatakan bahwa aku baru saja tertimpa kesialan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya secara singkat, padat, dan jelas. 

Selama tanganku membuat cerukan adonan nastar dan mengisinya dengan selai nanas, aku terus berusaha memikirkan solusi apa yang harus kulakukan agar dapat mengikuti ujian di keesokan harinya, pun memikirkan apa-apa yang harus kulakukan agar tidak mati bosan dalam dua minggu tanpa akses internet--setidaknya sampai konter HP B kembali dibuka.

Pada akhirnya aku menumpang WiFi tetangga saat ada tugas dan ujian dari sekolah. Setelah segala urusan selesai, aku segara pamit undur diri seraya bilang terima kasih.

Setelah itu aku tidur, makan, nonton TV, membantu Ibu. Tidur lagi, makan lagi, nonton TV lagi, membantu Ibu lagi, dan seterusnya sampai dua minggu yang akan datang. Bahkan aku sudah bosan lima hari tanpa akses internet!

Jika kutahu akhirnya begini, lebih baik kutarik saja permohonanku waktu itu.

***
Tuhan, aku pengin liburan super panjang ini segera berakhir.
***

1583 kata
Aku berusaha membuat cerpen sesederhana mungkin.

AyamLincah


Ayam dan Ceker BesinyaWhere stories live. Discover now