"Baik, Singto!"

"Dengan ini, rapat selesai sampai di sini."

...

Singto melonggarkan dasinya yang terasa mencekik leher. Singto memang tidak pernah mengeluh tapi ia tidak bisa berbohong kalau ia tidak tertekan. Keputusannya sangat berpengaruh untuk perusahaan ini.

"Apa Tuan membutuhkan sesuatu?" tanya Ice sambil memerhatikan Singto. Ia kadang merasa iba pada teman semasa kuliahnya itu. Ya, Ice memang teman Singto tetapi ia menolak memanggil Singto dengan nama, alasan profesional katanya.

Singto menggeleng,"Tidak, siapa tadi nama kompetitor kita?"

"Khun Darvid."

...

Krist memerhatikan keramaian cafe. Tidak begitu ramai, tidak juga sepi. Semua bisa teratasi dengan baik. Krist melirik jam di dinding, 15 menit lagi jam kerjanya selesai. Singto berjanji akan menjemputnya, katanya ingin mengajak Krist jalan-jalan sebagai permohonan maafnya. Krist mendengus geli, ada-ada saja.

Pandangan Krist terhenti pada seorang wanita yang duduk tidak jauh darinya. Tangannya sibuk mencatat sesuatu dengan laptop di hadapannya. Rambut coklat sebahu, hidung mancung, pipi tirus dan kulit yang cerah sangat menarik perhatian. Wanita yang cantik, pikir Krist.

"Krist, jam kerjamu sudah selesai," ujar seorang rekan kerja Krist sambil menunjuk jam.

Krist mengangguk sambil tertawa,"Baiklah, kutinggal ya?" lalu Krist berjalan menuju ruangan yang bertuliskan Staff Only dan mengganti pakaiannya.

...

Singto menghentikan mesin mobilnya di depan cafe. Singto lebih memilih harus memutar arah mobilnya dibandingkan berhenti di sebrang jalan. Kejadian Krist pingsan tempo hari, membuat Singto sedikit trauma.

Singto masih menunggu Krist sampai indra matanya menangkap seseorang yang sepertinya ia kenal. Tapi mana mungkin? Pandangan Singto terhenti ketika Krist mengetuk jendela mobilnya. Singto turun dan membukakan pintu mobil untuk Krist.

"Kau tidak perlu sampai seperti itu," ujar Krist sambil tertawa. Singto hanya tersenyum, senang sekali melihat wajah Krist yang begitu manis.

Singto menjalankan mobilnya setelah ia memastikan Krist memakai seat belt-nya dengan aman. Jalanan sore ini lumayan padat mengingat sudah waktu pulang bekerja.

"Jadi, ingin ke mana?" tanya Krist.

"Ke bioskop, bukannya kau ingin menonton film?" Singto menanya balik.

"Apa?" Krist bukannya tidak mendengar perkataan Singto tetapi ia tidak percaya bahwa Singto mengingat perkataannya tempo hari. Krist ingin sekali menonton film Train to Busan tapi Singto begitu sibuk dan melarang keras Krist membawa Sea.

"Apa judulnya? Train to Busan?" Singto memastikan lagi dan mendengus geli ketika melihat Krist sedang melongo. Tangan Singto terulur untuk mencubit pipi Krist, gemas sekali.

Krist hanya mengangguk sambil mengusap-usap pipinya, masih takjub dengan perilaku Singto.

...

Krist dan Singto sepakat untuk menonton film Train to Busan. Sepanjang film diputar, Krist tanpa sadar sesekali akan memegang lengan Singto atau menarik kemejanya. Singto? Jangan kau tanya, ia sibuk memerhatikan wajah Krist. Sejujurnya ia tidak begitu perduli dengan film yang sedang diputar di hadapannya, Singto setuju untuk menonton karena Krist menginginkannya.

Tanpa sadar Krist menangis ketika melihat scene akhir di mana sang ayah harus berkorban agar anaknya dapat selamat. Krist sadar ia telah menangis saat dengan lembut Singto menghapus aliran air yang jatuh di pipinya.

"Ah, maaf. Filmnya sangat sedih," ujar Krist sambil ikut menghapus air matanya. Singto menggeleng sambil mengusap bahu Krist, tidak mempersalahkannya sama sekali.

Krist dan Singto memutuskan untuk mengisi perut mereka sebelum pulang. Tadi Singto mendapat omelan panjang dari Sea yang tidak terima karena tidak diajak. Omelan itu berhenti ketika Singto berjanji membawakan ice cream yang banyak untuk Sea. Benar-benar bocah itu... gumam Singto.

"Singto, tadi di cafe ada pengunjung seorang wanita, cantik dan anggun sekali," oceh Krist sambil mengunyah dengan lahap.

"Oh ya?"

"Ya, memesona sekali.." Krist bergumam sambil menerawang.

Singto tertawa, ia tidak cemburu. Singto paham bahwa Krist hanya ingin bercerita dan Singto siap menjadi pendengar yang baik.

"Bagiku tidak," sahut Singto yang langsung mendapat tatapan penuh tanda tanya dari Krist. Singto bahkan belum melihatnya, mengapa ia begitu yakin?

"Karena yang paling cantik dan memesona di mataku hanya dirimu Krist," lanjut Singto dengan senyumannya. Krist yang salah tingkah hanya mengalihkan pandangan dan meminum air banyak-banyak, mengantisipasi malu dan menutupi mukanya yang memanas akibat perkataan Singto.

...

Tepat tujuh hari setelah rapat Singto dengan para karyawannya. Singto sejak pagi sudah sibuk rapat dengan tim Maprang, membahas data-data keuangan dan mengoreksi hal yang sekiranya belum benar. Masalah keuangan memang sangat sensitif, Maprang menjelaskan ia harus bersabar sekali menghadapi kemauan klien dan menyesuaikannya dengan keadaan perusahaan.

Setelah selesai dengan Maprang, Singto masih harus rapat dengan tim Em. Seorang kepala proyek ingin bertemu, membahas banyak hal yang belum jelas. Em sangat keki sekali saat kepala proyek itu menolaknya mentah-mentah dan ingin langsung bertemu dengan Singto.

Singto masuk ke dalam ruang rapat,"Jadi bagaimana, Em?"

Em mengusap wajahnya kasar,"Dia hanya ingin bertemu denganmu, Singto. Kuingatkan, dia sangat keras kepala sekali. Dia bahkan hanya mengabari melalui telepon. Orangnya akan segera sampai sebentar lagi."

Pintu terbuka, menunjukkan seorang wanita berdiri dengan percaya diri. Singto melongo, kali ini ia tidak mungkin salah lihat. Wanita tersebut tidak begitu terkejut, ia tahu siapa yang ia hadapi.

Dengan suara tercekat Singto menyahut,"Prae?"

TBC

Hallo, semua! Terimakasih sudah membaca, jangan lupa comment dan vote ya? 

Aku berusaha untuk pelan-pelan nyertain konflik di dalam cerita ini. dengan cerita ini juga aku belajar kalau tokoh aku bukan cuman Krist dan Singto, aku juga harus memahami semua tokoh di dalam cerita ini. Maaf kalau sekiranya ceritanya ngebosenin atau gimana, karena aku masih belajar juga hehe. 

Kalian bisa menghubungiku melalui instagram @malikaahsnal .

- With love, M. 

cr. pict: BanKbANk~** 

Bunga TerakhirWhere stories live. Discover now