Bob

281 22 0
                                    

Aku menyukainya.

Pria yang orang-orang bilang terlihat seperti beruang itu.

Bukan suka pada pandangan pertama tapi sekarang aku menyukainya. Setelah hampir empat tahun bekerja dengannya.

Coba lihat, bagaimana bisa untuk tidak menyukainya jika dia tersenyum indah seperti itu kepadaku. Walau aku tahu dia hanya menganggapku sebagai salah satu adiknya. Aku dimasukkan kedalam brother-sister zone olehnya.

Sialnya lagi, aku terjebak didalam suatu keadaan dimana aku tidak bisa untuk menghindarinya. Seberapa keras aku menahan perasaanku aku tidak bisa.

"Na, bisa bantu aku memakai baju ini?" Si Bob itu menghampiriku dengan kemeja licin dan setelan jas ditangan kirinya dan gelas cup kopi ditangan kanannya.

Lihat, dia bisa memakai pakaiannya sendiri bila dia menyimpan gelas cup kopinya terlebih dahulu. Tapi dia terlalu malas untuk melakukannya. Ya apalah gunanya aku disini yang dilihatnya tidak melakukan apapun padahal orang orang diselilingku cukup sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Tanpa bicara apapun, aku mengambil alih pakaian dari tangannya. Lihatlah bagaimana dia tersenyum lagi saat aku sudah berada di depannya, membantunya memakai kemejanya.

Perbedaan tinggi kami cukup jauh sehingga dia dengan suka rela melebarkan kedua kakinya kesamping. Memudahkanku untuk mengancingkan kemejanya. Sekaligus membuatku dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas. Hah, kuharap warna wajahku tidak berubah menjadi merah saat ini.

"Oh, tolong bantu aku juga, Na."

Aku menoleh ke asal suara dan kulihat Brian membawa pakaiannya yang dijepit di lipatan ketiaknya, kearahku.

Aku mendengus kecil. Ada apa dengan para lelaki disini. Tidak seperti Bob yang memegang gelas kopi, Brian sedang sibuk memegang handphone, dia memainkan game online yang tidak kuketahui.

"Tidak, Nana sibuk. Kau cari orang lain saja."

Hah? Aku belum sempat mengatakan apapun. Bob yang mewakili diriku menjawab permintaan Brian.

Aku dan Brian saling melirik.

"Aku tidak sibuk-sibuk amat. Aku sudah hampir selesai denganmu," kataku pada si Bob.

Bob menggeleng tidak setuju. Dia bersikeras memaksa Brian untuk mencari orang lain yang bisa membantunya. Brianpun berlalu sambil memberiku tatapan ingin tahunya.

Aku berusaha menahan raut wajah kecewaku. Menjadikan Brian sebagai alasan melarikan diri darinya gagal. Tidakkah dia tahu, irama jantungku sudah tidak bagus sekarang. Aku seperti merasa bisa pingsan kapan saja.

Beberapa menit kemudian, selesailah tugasku membantunya. Dia mematut dirinya didepan cermin sebelum berbalik kearahku dan menyodorkan kopinya.

 Dia mematut dirinya didepan cermin sebelum berbalik kearahku dan menyodorkan kopinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hah?" Aku menatapnya heran.

"Untukmu." Hah?

"Aku tidak minum kopi, Bob," tolakku.

"Ini bukan kopi. Ini dark chocolate kesukaanmu." Dia mengambil tanganku dan memberikan gelas yang sedari tadi kupikir adalah kopi kemudian berlalu setelah menepuk kepalaku sekejap.

Pantasan saja aku tidak melihatnya meminum isi gelas itu dari awal dia mendatangiku. Aku kembali tersipu. Jadi dia sengaja? Memintaku membantunya dan mengusir Brian?
Tidak, tidak. Bob sangat baik kepada siapapun. Aku tidak ingin salah paham dengan kebaikannya.

Aku pun hanya menatap dark chocolate ini tanpa bisa menahan senyumku lagi.

Through A Day With Bob 🐻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang