"Hana."
"Ya?"
"Adek itu ... perempuan kan?" tanyaku kemudian. "Soalnya, menurutku, kamu kelihatan semakin cantik dan manis dan ... lucu. Kata orang, kalau ibunya semakin cantik tuh artinya anaknya perempuan?"
Hana menatapku–bingung. Beberapa detik kemudian, tawa pelan yang terdengar begitu merdu karena sudah lama absen, mengetuk indera pendengaranku. "Adek itu laki-laki, Soonyoung. Kamu sering dengar aku panggil dia 'adek' masa nggak pernah dengar aku sebut dia 'jagoan', sih?"
"Hm?"
"Maaf ya," Hana menatapku–untuk pertama kalinya sejak rumah tangga kami nyaris hancur, dengan sendu, tanpa kekecewaan, tanpa ketakutan, tanpa kekhawatiran. "Aku tahu kamu sering diam-diam ngumpet di belakang pintu dengerin aku ngobrol sama adek tiap pulang kerja. Aku pura-pura enggak tahu bukan karena aku nggak mau kamu gabung sama kami tapi aku ... aneh nggak, sih, ngomong sendiri? Aku nggak mau kamu mikir aku aneh."
Aku tertawa. "Aku pikir itu normal? Maksudku, menurut beberapa sumber di internet tuh memang penting ngajak ngobrol mereka. Sorry, sumberku cuma dari internet. Aku enggak ngerti apa aku bener-bener harus beli buku parenting di toko buku."
Senyum Hana semakin lebar dan hatiku benar-benar hangat. Sudah sangat lama sejak terakhir kali aku melihat senyum selebar dan selepas ini terulas di bibirnya. Benar-benar melegakan.
"Jujur aja, aku biasanya di belakang pintu bukan fokus dengerin kamu ngobrol sama adek. Tapi ngelihatin kamu dari belakang dengan background langit senja itu ... indah."
"Aku?"
Aku mengangguk, menatap lurus ke dalam matanya–mengunci tatapan satu sama lain sebelum menarik napas dalam dan memulai agenda untuk memperbaiki semuanya. "Hana, aku minta maaf."
"Hm? Buat apa lagi?"
"Banyak," kataku. "Kamu mungkin udah maafin aku tapi suasana rumah beberapa bulan terakhir asing banget, Hana. Aku boleh tanya ya?"
Hana mengangguk, meski sedikit ragu.
"Kamu bahagia sama aku sekarang?"
Hana mengalihkan pandangannya. Menatap obyek manapun yang bisa ia tangkap selain mataku. Tangannya dalam genggamanku bergerak gelisah dan ia menelan ludah. Apa pertanyaanku begitu sulit?
"Hana, kalau kamu enggak mau jawab juga enggak apa-apa. Jangan sampai pertanyaanku bikin kamu banyak mikir dan stress. Adek udah mau lahir, kamu harus banyak-banyak rileks kan?"
"Soonyoung," panggil Hana pelan. Ia kembali menatapku–kali ini dengan mata berkaca-kaca yang sukses membuat jantungku seperti melorot jauh hingga ke dasar. "Aku bener-bener takut."
Kemudian, air matanya jatuh.
Aku buru-buru bangkit dari kursi, menarik kepalanya mendekat dan mendekapnya erat, meredam tangisnya sebisa mungkin agar tidak terdengar. Tangannya meremas ujung sweater-ku kuat-kuat. Meski begitu, justru hatiku yang remuk dibuatnya.
___
"Aku takut," Hana menunduk, menatapku yang kini berjongkok di depannya–menggenggam tangannya erat. Sesekali tanganku terulur, menghapus air mata yang masih mengalir meski tak sederas sebelumnya. "Sejak hari itu, kamu lebih banyak diam. Kamu enggak lagi suka bercanda, enggak lagi banyak bicara, aku takut kamu benci sama aku dan tetap di sini karena kasihan."
Aku menggeleng, mengeratkan genggamanku, meyakinkan bahwa apa yang ia ucapkan tidak benar karena aku tidak mungkin membencinya apalagi tetap tinggal karena kasihan.
"Aku takut kamu tinggal karena adek, bukan karena aku. Aku takut kamu bener-bener udah enggak cinta lagi sama aku. Aku takut kamu muak setiap lihat aku, dan akhirnya milih pergi. Aku takut, Soonyoung."
"Hana," bisikku pelan. Tangannya kuangkat, kukecup sekilas. "Kalau ada di antara kita berdua yang berhak untuk bahagia, untuk membenci, bahkan untuk pergi–itu kamu orangnya. Setelah apa yang terjadi di antara kita, setelah apa yang aku lakukan, kamu yang paling berhak bahagia, kamu yang paling berhak untuk benci aku, bahkan kamu berhak untuk pergi dari aku."
Hana menggeleng, air matanya kembali mengalir deras dan ia berusaha keras menarik tangannya dari genggamanku.
"Aku tinggal bukan karena kasihan." Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandanganku mulai mengabur karena air mataku pun mulai berkumpul. "Aku tinggal karena aku mau memperbaiki semuanya. Aku tinggal karena sekarang waktunya aku yang berjuang untuk bawa kamu pulang."
"Soonyoung...."
"Hana, aku minta maaf."
Pada akhirnya, pertahananku runtuh juga. Lututku lemas, kepalaku jatuh ke atas pangkuan Hana dengan tangan masih saling menggenggam. Posisiku sekarang layaknya seorang pendosa yang tengah memohon ampun atas kesalahan yang sesungguhnya tak termaafkan.
"Hana," ucapku pelan–suaraku teredam. "Aku minta maaf. Aku minta maaf.... Aku yang salah, aku yang salah. Tolong jangan mikir macem-macem lagi...."
Hana melepaskan tangannya dari genggamanku, menepuk pipiku dengan lembut sebelum mendongakkan kepalaku dan membawanya sedikit lebih tinggi. Matanya masih basah, tapi tatapannya benar-benar lembut. Aku memejamkan mata karena merasa tidak layak mendapatkannya, apalagi menikmatinya. Satu-satunya tatapan mata Hana yang boleh kudapatkan setelah semua kekacauan ini adalah tatapan kekecewaan.
Namun, bibirku justru dikecup dengan lembut. Kemudian dipagut dalam tempo yang cukup lambat hingga dadaku terasa sesak karena bahagia yang berkumpul dengan perasaan bersalah. Tangan Hana bergerak pelan menuju belakang telinga–mengusapnya dengan ibu jari, memancingku naik.
Aku berdiri tanpa melepas pagutan kami, mencoba mengambil alih dominasi saat menyadari situasi saat ini.
Detik berikutnya, kami sudah berjarak. Hana menatapku dengan wajah semerah tomat sementara aku mati-matian menahan diri dari euforia–perasaan gembira yang berlebihan. Setelah berbulan-bulan merasa canggung, ciuman barusan adalah yang terbaik. Bukan sekadar formalitas, bukan sekadar ciuman.
"Hana, maaf," kataku lirih. "Aku ... kaget."
Senyumnya mengembang lagi. Hana menghapus air mata di pipinya sembari tertawa pelan. "It feels good, Soonyoung. Finally. Thanks a lot for your confession."
Aku menghela napas lega sebelum menarik tubuh Hana merapat, memeluknya erat, mencium seluruh bagian wajahnya tanpa terlewat sedikit pun. "Thank you for the second chance. Let's make it work?"
"Let's make it work," Hana mencium bibirku sekali lagi sebelum mengubur wajahnya di ceruk leherku dan mengecupnya. "Soonyoung, katanya, pernikahan yang bahagia itu enggak cuma butuh aku dan kamu yang selalu jatuh cinta. Tapi, dia juga butuh aku dan kamu yang bisa memaafkan. What you have done in the past is totally wrong but people change right?"
___
Well, seperti Bittersweet. Workaholic juga punya snippet bagian dua hehe.
ESTÁS LEYENDO
SEVENTEEN Imagine Snippets
FanfictionPotongan cerita dari SEVENTEEN Imagine 1.0 dan 2.0 Universe.
Workaholic Snippet: Second Chance
Comenzar desde el principio
