1. Petunjuk Dalam Surat.

10 1 0
                                    

Senin 28 April 2014, jam 7.30 pagi.

Genap sebulan sudah berlalu sejak kasus Jembatan Kali Angke.

Deretan rumah sisi timur jalan belakang, Distrik Tambora.

Lusi, murid kelas 5A SD Harapan 3, sedang menyiram tanaman di beranda rumahnya ketika seorang tukang pos datang mengirim surat, lalu pergi melanjutkan pekerjaannya. Seminggu ini kelas 6 sedang ujian akhir semester sehingga kelas 5 diliburkan.

Selesai menyiram tanaman, Lusi memeriksa kotak surat, mendapati surat masuk. Siapa pengirimnya, dari mana asalnya, dan apa isinya, Lusi penasaran. Sudah lama tidak ada surat datang kecuali dari petugas pemeriksa tagihan air dan listrik.

"Tidak mungkin ini surat tagihan," kata Lusi seraya membuka amplop surat yang disegel dengan stempel lilin, seperti dikirim dari masa lalu. "Tuh kan, benar saja,"

Tapi, dari tiga pertanyaan Lusi, hanya satu yang terjawab. Isi suratnya, dan itu pun hanya satu kalimat.

Tanpa menyebutkan nama dan alamat pengirim, di dalam surat itu juga tidak dinyatakan dengan jelas pada siapa tujuannya. Namun begitu membacanya, Lusi merasa surat itu ditujukan padanya.

Datanglah ke rumah teman seangkatanmu yang pandai menggambar.

Cuma itu. Tidak kurang, tidak lebih.

"Siapa, ya?" Lusi memeriksa daftar absen kelasnya berhubung ia adalah sekretaris. "Tidak ada di sini, berarti kelas seberang,"

Ya. Di SD Harapan 3, kelas 5A dan 5B tidak bersebelahan, melainkan berseberangan. Keduanya terletak di lorong yang berbeda.

Tidak tahu siapa teman yang dimaksud dalam surat itu, Lusi berniat menemui ketua kelasnya, barangkali dia tahu sesuatu. Belum sempat Lusi berangkat, orang yang dicari Lusi mengetuk pintu rumahnya.

"Stan?" Lusi membuka pintu, dan ternyata tidak hanya ketua kelas 5A yang datang, teman sebangku Lusi juga ikut. "Rien?"

"Jangan bilang kalau kamu juga dapat surat itu," kata Rien. "Aku dan Stan juga dikirimi surat misterius itu,"

"Punya kalian apa isinya? Mengarahkan untuk datang ke sini?" tanya Lusi.

"Tidak juga sih," jawab Stan. "Aku diminta untuk temui bendahara kelas, dan itu Rien,"

"Berarti Rien yang disuruh ke sini," Lusi segera menyimpulkan. "Kalian tahu siapa murid kelas 5A yang pandai menggambar?"

Rien angkat bahu. "Tapi tukang pos yang tadi mengantar surat sepertinya aku kenal,"

"Lusi tidak tanya soal itu, Rien," kata Stan. "Tapi aku tahu, siapa yang paling mungkin dimaksud dalam suratnya Lusi. Ikut aku,"

Singkat cerita, Stan memimpin dua anak buahnya itu ke warung terdekat dengan rumah Lusi, warung Amat.

Rumah Lusi terletak di sebelah RM Padang Konco Ambo, mengapit rumah makan itu bersama warung Amat. Adapun alamat Rien dekat pertigaan jalan belakang, dan rumah Stan berseberangan dengan rumah Pak Sunar dan kontrakan Bu Nin. Rien tidak salah kalau dia bilang sepertinya kenal tukang pos itu. Beliau tidak lain tidak bukan adalah Pak Heryanto, ayah Dini Safitri.

Stan sengaja pergi ke warung Amat, karena Amat adalah murid kelas 5B, dan dia lebih kenal teman-temannya di sana.

"Kawanku yang pandai menggambar itu namanya Tama," ujar Amat. "Alamatnya mengapit toko material bersama pangkalan rongsok. Cukup jelas ya,"

"Baik, ayo kita berangkat," kali ini Lusi yang memimpin jalan. "Aku kenal wilayah situ,"

Rumah Tama.

Kota Lingkaran Hening Side Story : Lucitama Rineford.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang