2

15 2 0
                                    

Rambut coklat tebal, sedikit tergulung di bagian ujung. Tubuh tinggi dan gemuk dengan otot sebagai pengisi. Manik biru cerah yang selalu terlihat antusias dan dapat memerangkap apa yang terlihat di sana. Gigi putih mengintip kala bibirnya tersenyum. Tak lupa bintik di sekitar mata yang membuat Bardi terlihat seperti anak Inggris kebanyakkan.

Tidak ada yang salah dengan keberadaannya, tapi Ainsley selalu tidak nyaman dengan Bardi. Terlebih sejak pertemuan mereka, Bardi seolah tidak ingin jauh dari Ainsley. Ke mana pun Ainsley pergi, Bardi akan mengikuti. Tentu saja Ainsley risih, dia sudah pernah menegur Bardi, tapi pemuda itu seakan tidak mendengarnya.

Ainsley belum mendapat teman. Sejauh ini, teman-teman di kelas cukup ramah. Namun, mereka hanya sekedar menyapa, tidak ada yang benar-benar ingin dekat dengannya selain Bardi.

Tidak.

Ainsley cukup menikmati situasi sekarang, hanya Bardi yang membuatnya tidak tenang. Semakin lama keberadaannya mulai terasa mengerikan, sama seperti predator yang sedang mengawasi mangsa. Contohnya sekarang, Ainsley sedang makan sendirian di kedai dekat sekolah.

Bardi datang dan duduk di hadapannya, dengan semangkuk sup dan senyum aneh di wajah.

“Hei, kebetulan sekali kita bertemu di sini,” kata Bardi tanpa merasa berdosa.

“Kau mengikutiku.” Ainsley menjawab sambil memandang Bardi.

“Haha, maaf. Aku hanya ingin berteman denganmu.” Bardi tersenyum lalu menyantap supnya.

“Teman-teman di kelas menyuruhku untuk tidak dekat denganmu karena kau aneh. Menurutku juga begitu.”

“Kau tidak boleh menilai orang dari sampul luarnya. Darimana kau tahu aku aneh, kamu hanya mendengar rumornya, kan?” Bardi berusaha meyakinkan Ainsley.

“Aku melihatmu berkeliaran di kebun keluarga kami saat hujan, tidak ada orang normal yang melakukan hal seperti itu. Kau juga mengikutiku seperti ini, bukankah itu bukti yang cukup?” Ainsley menjawab mantap.

“Kau suka cerita misteri, kan? Aku melihatmu membaca buku kumpulan cerita misteri kemarin.” Bardi mengalihkan pembicaraan.

“Yah, aku punya teman di Inggris yang suka menceritakan kisah mengerikan dari masa lalu. Karena bosan, aku pergi ke balai kota untuk mencari beberapa buku misteri.” Ainsley menjelaskan, Balai kota* adalah tempat terbaik untuk mencari informasi. Di sana ada banyak buku dan informasi tentang suatu kota.

“Kau bertemu orang yang tepat. Aku adalah orang yang sudah banyak menemukan kebenaran di balik misteri kota ini.” Dengan wajah bangga Bardi memukul dadanya.

“Maksudnya?” Ainsley mengangkat sebelah alis.

“Aku adalah peneliti misteri. Aku membaca cerita misteri dan mencari tahu keberadaannya. Yah, kebanyakan cerita itu hanyalah cerita palsu karangan nenek moyang kita. Kalau kau mau, aku akan menunjukkan apa yang sudah kutemukan sejauh ini.” Bardi menjelaskan dengan antusias. Dia senang bertemu dengan orang yang menyukai misteri sama sepertinya.

Ainsley menarik napas pelan mendengar pernyatan Bardi. Hei, mencari tahu kebenaran suatu misteri tidak ada salahnya. Mungkin itu bisa menjadi sesuatu yang menarik. Bukankah akan lebih menegangkan jika kita berada di tepat aslinya dibandingkan dengan mendengar cerita?

Untuk pertama kalinya Ainsley tersenyum pada Bardi. Dia mengangkat tangan kanan dan menjabat tangan Bardi. Keduanya saling berpandangan dan tersenyum.

“Maaf sudah kasar padamu, aku hanya tidak biasa diikuti seperti ini. Aku baru di sini dan belum terlalu tahu tempat di kota ini. Maukah kau menunjukkan beberapa padaku?” Ainsley mengalihkan pandangan.

The Prove of White Death [TAMAT]Where stories live. Discover now