Chapter 1

54.7K 3.8K 92
                                    

Chapter 1

Wira mengayuh pedal sepedanya menuju rumah minimalis berwarna oranye tua dengan dua mobil terparkir di pelatarannya. Namun, ia berhenti begitu melihat truk pikap ada di samping taman, dengan berbagai barang tersusun di sana. Beberapa kuli angkut berotot mengambil barang-barang tersebut, membawanya ke dalam rumah itu.

Membetulkan letak topi hitamnya, Wira bertanya-tanya siapa orang yang pindah ke rumah sahabatnya itu, atau mungkin sahabatnya mendadak pindah rumah karena terbelit hutang sehingga tidak bilang-bilang padanya dan pergi begitu saja. Lalu sekejap kemudian, orang baru datang ke rumah sahabatnya.

Terlalu dramatisir, pikir Wira seraya terkekeh. Ia mengambil ponselnya di saku depan, mengetikkan pesan untuk sahabatnya.

Wira: Depan rumah lo kok banyak algojo berotot bawa barang? Wah, pindah gak bilang-bilang lo. Masih ada utang seribu perak ke gue.

Tak perlu lama bagi sahabatnya untuk membalas pesan Wira. Bahkan, dari kejauhan, Wira melihat kamar jendela atas terbuka. Menampakkan sosok menyebalkan yang sudah sering Wira lihat selama dirinya masih tiga tahun, sahabatnya, Satya.

Semilir angin musim penghujan mengenai Wira, membuat cowok itu bergidik kedinginan. Seharusnya, tadi ia membawa jaket atau sweter.

Satya: Lebay, lo. Itu, sepupu gue, pindah ke sini gara-gara gak mau tinggal bareng salah satu ortunya yang kemaren cere.

Wira menaikkan satu alis. Sepupu Satya? Siapa?

Baru saja Wira ingin membalas pesan Satya, kuli-kuli angkut tadi sudah menyelesaikan pekerjaannya dan pergi dari pelataran parkir dengan truk pikap. Truk tersebut mengeluarkan suara jelek seiring kepergiannya, membuat Wira bertanya-tanya apa truk itu jarang diservis atau bagaimana. Dan akhirnya Wira sadar itu bukan urusannya, sehingga dia mulai mengetikkan pesan untuk Satya.

Wira: Orangnya ada di dalem?

Satya yang melihat pesan Wira langsung menatap cowok itu dengan alis terangkat sebelah. Satya memang selalu menyebalkan, apalagi jika Wira melihatnya dari bawah sini. Rambutnya gondrong dan keperakan, persis seperti bule, warisan dari ibunya, tante Mala.

Satya: Orangnya gak ada. Dia ke sini besok. Ke sini aja, oi. Gak ada waktu lagi buat latihan band selain sekarang.

Wira mendengus samar. Bingung apakah band yang ia bentuk bersama Satya masih bisa dibilang band. Karena personilnya hanya dua, dia dan Satya. Gagasan Satya untuk ikut lomba antar band membuat mental Wira menciut. Mereka hanya dua orang dan baru membuat satu lagu yang isinya sumpah serapah dari Satya untuk mantan pacarnya.

Benar-benar gagasan yang bagus.

“Lama amat, sih,” gerutu Satya sewaktu Wira menaruh sepedanya di pelataran parkir, dekat mobil silver milik ayah Satya. “Lagian, kenapa lo takut ada sepupu gue, sih?”

“Gue 'kan canggung,” tandas Wira seolah hal itu sudah sangat jelas. “Gue males kalo harus berusaha supaya gak canggung.”

Satya mengedikkan kedua bahunya dengan ekspresi tidak pedulian. Sekarang, cowok itu berjalan malas menuju studio milik ayahnya, sementara Wira mengikuti.

Rumah Satya bagus, semua furnitur ditaruh di tempat yang pas. Kakak Satya, Fanny, seorang arsitektur sehingga kakaknya itu tau cara memperindah rumah. Dan memang, rumah Satya sangat artistik dan membuatnya sedikit iri.

Sekilas Wira mendengar berita yang ada di layar TV, di dinding ruang keluarga, tentang dua artis papan atas yang bercerai beberapa hari lalu. Wira tertawa kecil mendengar anak bungsu mereka tidak mau memilih antara ayah atau ibunya.

FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang