1

33 4 0
                                    

Glasow, Scotlndia. Januari 1918.

Langit tampak mendung kala Ainsley menginjakkan kaki di tanah Skotlandia. Kereta yang membawanya dari Inggris baru berhenti di stasiun beberapa menit lalu. Debu halus beterbangan ketika penumpang berhamburan ke luar dari kereta. Tingkat polusi di kota Glasgow jauh lebih sedikit dari Inggris meski keduanya tergolong kota besar.

Tetap saja Ainsley merasa sesak melihatnya. Bukan karena dia memiliki riwayat penyakit asma. Tetapi karena pemandangan yang terbentang di hadapannya. Pemuda berusia tujuh belas tahun itu tidak suka keramaian, keributan, dan polusi. Tipe penyendiri yang selalu tenggelam dalam pikirannya.

Dia mengharapkan sesuatu yang baru ketika menyetujui keputusan orang tuanya. Pulang ke kampung halaman di mana dia lahir. Masa kecilnya dihabiskan di kota Gasglow, hingga mereka harus pindah ke Inggris karena pekerjaan orang tuanya saat dia berusia tujuh tahun.

Kini setelah berusia tujuh belas tahun, dia kembali.

Rindu.

Tentu saja itu bukan alasan Ainsley setuju kembali ke sini. Di mana pun dia berada, asal tempat itu tenang dan nyaman, dia akan betah. Kakek neneknya baru saja meninggal, menyisakan harta mereka di tempat ini. Orang tuanya memutuskan untuk kembali agar dapat mengelolanya.

Upah pekerjaan di Inggris tidak sebesar hasil perkebunan yang ditinggalkan kakek dan nenek. Manusia tentu akan memilih jalan yang lebih menguntungkan. Ainsley setuju kembali karena berpikir kota Gasglow akan memberikan suasana berbeda, tapi sepertinya dia harus membuang semua harapan itu.

Keadaan kota Gasglow tidak jauh berbeda dari Inggris. Kabut tebal yang menyesakkan terlihat sejauh mata memandang. Keberadaan pepohonan di sepanjang jalan pun tidak membuat udara yang masuk ke paru-paru sedikit lebih segar. Kalau seperti ini, apa bedanya berada di kota ini atau tetap tinggal di Inggris?

“Ainsley jangan melamun, tetap perhatikan barangmu, pencopet stasiun selalu mengambil kesempatan di saat seperti ini.”

Belum sempat berkomentar, sebuah tepukkan dan suara baritton masuk ke telinganya. Raymon—ayah Ainsley—tampak kesusahan dengan dua koper di bahunya.

“Ayo Ainsley kereta kuda kita sudah menunggu.”

Menyusul Diana—ibu Ainsley—kedua orang dewasa itu berjalan melewatinya dengan cepat, lalu menghilang di kerumunan. Ainsley hanya menghela napas pelan. Kenapa orang dewasa selalu terburu-buru? Tidak tahukah mereka, Ainsley sedang menahan rasa jijik karena sepatu barunya harus berkenalan dengan lumpur hitam kota Gasglow

Butuh waktu lama untuk membersihkannya.

Ainsley pecinta kebersihan, dia tidak nyaman memakai benda kotor. Menghirup napas dalam, pemuda itu berusaha bertahan. Mereka akan tiba di rumah sebentar lagi, dia bisa kembali ke kamar lamanya dan menghabiskan waktu di sana.

Di depan stasiun yang tidak kalah ramai daripada di dalam, berjejer kereta kuda. Para kusirnya sibuk menawarkan jasa pada orang yang baru keluar dari stasiun. Ada juga yang meneriakkan nama pelanggan yang telah menyewanya.

Meski terpisah jauh dari orang tuanya, tidak butuh waktu lama bagi Ainsley untuk menemukan mereka. Ayahnya adalah seorang berbadan besar dengan suara Bass yang khas. Ainsley dapat mengenali suara teriakan sang ayah dengan mudah.

Barang bawaan mereka segera dinaikkan ke kereta kuda. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal. Kusir mulai memecut punggung kuda, sebagai isyarat untuk segera memulai perjalanan.

“Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana?”

“Beberapa jam lagi, sabar sayang.”

The Prove of White Death [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang