10. hujan di jumat sore

Mulai dari awal
                                    

"Saya gak suka sama dia. Juga saya lupa pernah dia kirimi pesan," Senandika bermain dengan gantungan kunci Snorlax yang ada di tas Saujeno, baru menyadari ada benda lucu itu tergantung disana. "Saya juga gak pernah balas chat selain chat Kak Raka dan Mas Yuta."

"Tapi kamu balas chat saya?"

"Ya... terus kenapa?"

"Saya merasa spesial."

"Itu karena kamu aja yang kirimi saya pesan terus menerus. Notifikasi saya penuh karena kamu!"

Saujeno cuma bisa tertawa gemas melihat Senandika yang langsung membuang wajah keluar jendela setelah ditanya demikian. Ia tahu, Senandika pasti sedang merona malu karena tersipu.

"Kita mau kemana, Dika?" Tanya Saujeno kemudian.

Senandika pun kembali menghadapkan wajahnya ke arah pemuda tampan itu, "Sebelum saya jawab, saya juga mau tanya."

"Tanya aja."

"Kenapa kamu ngikutin saya?"

"Karena saya pikir kamu mau ke cafe."

"Kenapa kamu mau ke cafe?"

"Mau nemenin Dika kerja, sekalian nugas juga."

"Saya gak mau ke cafe tapinya."

"Tapi akhirnya kamu ke cafe 'kan?"

Senandika diam, yang kemudian Saujeno anggap sebagai jawaban 'iya'.

"Kenapa?"

"Hm?" Saujeno menengok, bertanya balik setelah dua menit penuh keheningan. "Apanya yang kenapa?"

"Motormu."

"Kenapa motor saya?"

"Kenapa di rumah Bayu?"

"Oh, kemarin saya habis bawa ke bengkel untuk ganti oli setelah antar kamu pulang. Karena udah malam, saya tinggal aja dan suruh Bayu yang bawa pulang." Jawabnya, berdusta seluruhnya.

"Saya pikir kenapa, motormu itu."

"Kenapa memang?"

"Saya pikir rusak."

"Kalau rusak?"

"Kamu gak bisa antar saya pulang lagi."

Untuk kali ini, Saujeno benar-benar ingin sekali mengantongi Senandika dan membawanya pulang. Astaga, gemas sekali!

"Sekarang kamu udah berani balas goda saya, hm, Dika?" Saujeno tersenyum miring, memajukan wajahnya.

"Apanya? Saya bicara fakta!"

"Oh, jadi kamu suka diantar pulang sama saya?"

"Gak!" Senandika kelabakan. "Sama sekali gak suka! Ngebut, Saujeno gak sayang nyawa!"

Saujeno tertawa, mengabaikan penumpang lainnya yang mulai menatap mereka berdua dengan tatapan heran.

Mereka turun lima menit kemudian di depan sebuah gedung besar yang Saujeno kenali sebagai sekolah dasar yang lumayan elit di kecamatan tempat mereka tinggal. Senandika pun kembali membuatnya penasaran. Kali ini, untuk apa ia mampir ke sebuah sekolah dasar?

Oh, menjemput adiknya?

Mereka berdua menunggu di dekat pagar sekolah yang ukurannya dua kalinya pagar sekolah mereka. Tentu aja sekolahnya besar, ini sekolah dasar swasta terkenal, sedangkan sekolah mereka hanyalah sekolah negeri biasa.

Lima menit menunggu, rasa penasaran yang Saujeno tahan sedari tadi akhirnya terjawab ketika melihat seorang lelaki kecil melambaikan tangannya ke arah Senandika dan melangkah menghampirinya.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang