"Mau tinggal di sini dulu beberapa hari, Hoon?" tanya Mama pelan. Jihoon bisa melihat kantung mata yang lumayan besar dan hatinya bergetar anehㅡsakit. "Daripada kamu sendirian. Atau mau Seungcheol nginep di sana?"
"Makasih tawarannya, Tante, tapi takut ngerepotin. Di sini masih banyak tamu juga," Jihoon mengulas senyum sopan. "Enggak apa-apa, aku pulang. Nanti aku main kalau lagi luang."
"Hoon."
Kali ini giliran Papa yang memanggil nama Jihoon. Tangannya ia letakkan di pundak kiri Jihoon, persis seperti apa yang Seungcheol lakukan sebelumnya.
"Sekali lagi kami minta maaf ya kalau Selin suka ngerepotin," katanya dengan senyum tulus. "Tapi, Selin cuma ngerepotin orang yang dia suka kok. Om, tante, dan Seungcheol. Di luar itu, orang-orang selalu melihat dia sebagai anak yang cukup mandiri. Kalau dia suka usil dan bikin kamu ribet, itu artinya dia suka kamuㅡsayang, sih."
"Iya, Om."
"Ya sudah, Hoon, kalau beneran nggak mau nginep biar Seungcheol antar pulang ya? Maaf kamu jadi harus batal exchange di Amerika ya? Sebenernya enggak apa-apa kamu balik nanti aja kalau udah kelar. Om jadi nggak enak."
"Nggak apa-apa, Om." Jihoon mengangguk sopan.
"Sudah nggak ada Selin bukan berarti kamu nggak boleh ke sini ya, Hoon. Kamu kan teman Seungcheol juga, jadi main aja kalau sempat." Papa kembali menepuk pundaknya sebelum menoleh ke arah Seungcheol yang sejak tadi menyimak di belakang Jihoon. "Antar pulang, Cheol, pastikan Jihoon masuk ke dalam tempat tinggalnya dan bukan balik ke tempat Selin ya."
•••
If a second life that’s different from now is to come to me...
Jihoon merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya yang terlihat anehㅡseolah ada cetakan wajah Selin di sana. Telinganya dipenuhi oleh suaranya sendiri dalam sebuah lagu demo berjudul Second Life. Sebuah lagu yang awalnya ia buat untuk dimasukkan ke dalam album ulang tahun Selinㅡlagu terakhir sebelum intro namun kemudian ia urungkan karena waktu yang terlalu singkat.
Will I be by your side? Will you be by my side?
Pertanyaan itu ... berputar di kepalanya sekarang. Jika saja ada kehidupan lain setelah ini, mungkinkah Tuhan berbaik hati untuk mempertemukan mereka kembali? Mungkinkah Tuhan mengizinkan Selin bersamanya untuk waktu yang jauh lebih lama? Sejujurnya, diberi tambahan waktu satu hari pun terasa cukup. Asal ia dapat memberitahu Selin dengan mulutnya sendiri, mengucap dengan lantang bahwa ia juga tulus. Bahwa Jihoon juga selalu jujur terhadap perasaannya namun tak pernah mudah untuk mengatakannya secara terang-terangan. Ia juga ingin mengucap maaf untuk segala tingkah laku yang mungkin saja membuat Selin sedih dan kecewa.
Jihoon ingin melihat Selin tersenyum sebelum menghambur ke dalam pelukannya. Jihoon ingin ... sampai dadanya terasa sesak karena menyadari bahwa keingininnya tidak akan pernah lagi dapat tercapai.
Pelan namun pasti, Jihoon merasa pipinya basah. Air mata yang menggenang di pelupuk mata sedari tadi, mengalir turun ketika ia mengerjap pelan. Seiring dengan rasa sakit yang kian membuncah di dadanya, serta potongan lagu yang mendekati klimaks, Jihoon mengerangㅡtangisnya kencang.
Lengan kanannya ia letakkan menutupi mata, malu pada entah siapaㅡsementara tangan kirinya mencengkeram kaos di bagian dadanya kuat-kuat. Kemudian, memukulnya cukup kencang, berharap rasa sakit itu cepat menghilang. Namun, yang ia dapat justru sebaliknya.
Jihoon sakit, sedih, sekaligus kecewa dan marah pada dirinya sendiri. Ia butuh pelukan, butuh dibisikkan tepat di telinga bahwa semua akan baik-baik saja.
YOU ARE READING
SEVENTEEN Imagine Snippets
FanfictionPotongan cerita dari SEVENTEEN Imagine 1.0 dan 2.0 Universe.
Bittersweet Snippet: The Day After (2)
Start from the beginning
