00:01

232 25 8
                                    

Kematian manusia memang sudah pasti. Entah kita sadar atau tidak. Entah dengan perantara sakit atau pun dengan hal-hal yang tak pernah kita duga. Kematian akan selalu ada di depan mata.

Namun, tetap saja Ify tak terbiasa. Melihat seseorang merenggang nyawa di depan matanya sendiri adalah hal yang ingin selalu ia hindari. Seharusnya ia bisa melakukan sesuatu, tapi ia bukan Tuhan. Dilema yang ia rasakan saat melihat detik demi detik yang mulai habis seolah juga menghabisi kewarasan dalam diri Ify. Ingin rasanya ia mengunci diri di kamar tanpa harus bertemu dengan manusia lain di luar sana agar ia tidak gila.

Tepatnya sudah dua bulan semenjak ia bangun dari koma. Saat itu pula Ify merasa ia hidup di dunia lain. Ia bukan yang dulu. Ada yang aneh, saat ia menatap detik demi detik hitungan mundur nyawa seseorang. Ingin ia menolong, tapi tubuhnya hanya mampu berdiri kaku saat seseorang itu sekarat di depan matanya. Ada yang awalnya sakit, kecelakaan, bahkan bunuh diri.

Ia dipaksa menjadi saksi bagaimana napas terakhir mereka berhembus. Ia dipaksa untuk melihat bagaimana sang malaikat maut mencabut nyawa manusia.

Ini semua gila.

Namun hal yang membuat Ify tak habis pikir adalah, ia tak bisa melihat waktu kematiannya sendiri. Ia tak tahu kapan eksistensinya di dunia akan berakhir. Ia tak tahu kapan malaikat akan menjemputnya.

"Ify!"

Atensi Ify pada buku beralih pada seorang perempuan berambut sepinggang yang tengah berjalan menghampirinya.

30 tahun 5 bulan 1 minggu.

Ify memejamkan matanya. Ia sangat berharap kemampuan ini hilang tiba-tiba.

"Kenapa, Mel?"

"Pensi minggu depan kamu ikut isi acara, ya?"

Bening tersenyum kecut. Ikut pensi berarti ia harus bertemu banyak orang.

"Maaf, Mel! Tapi aku tidak bisa!" Ify kembali menyibukkan diri, tak peduli dengan Melly yang berdiri kesal di sebelahnya.

"Aku sudah berbaik hati memberimu peran dalam drama, kau akan menjadi perawat. Tapi, kau memang bukan Ify yang dulu lagi."

Melly berlalu, meninggalkan Ify yang tertunduk sendu. Ya, dia bukan yang dulu lagi. Semenjak bangun dari koma, ada banyak hal yang berubah termasuk dirinya. Bahkan, kedua orangtuanya saja menganggapnya gila. Ah, mungkin tidak secara terang-terangan, tetapi mencekoki dirinya dengan obat dari psikiater cukup membuat Ify mengambil kesimpulan sendiri. Katanya, dia mengalami gangguan halusinasi.

Awalnya Ify akan tertawa, karena ia sendiri menganggap dirinya juga berhalusinasi, hingga saat ia sedang menunggu sebuah taksi untuk pulang sekolah, Ify melihat salah satu teman laki-lakinya yang mempunyai waktu tak lebih dari dua puluh detik. Detik-detik yang berhitung mundur membuat Ify gemetar, tangannya berkeringat dingin. Laki-laki itu menyeberang jalan, Ify ingin membantu karena ia melihat sebuah truk berkecepatan tinggi melaju dari arah kanan dan laki-laki itu tak menyadarinya. Namun yang terjadi adalah Ify jatuh terduduk di trotoar, lututnya lemas tak mampu menopang tubuh. Apalagi saat teriakan bercampur dengan decit ban yang di rem paksa menggema di gendang telinganya. Hingga ia melihat tubuh laki-laki itu terbaring bergelimang darah tak jauh dari tempatnya terduduk. Mata laki-laki itu menyorot padanya sebelum menghembuskan napas terakhir.

Selama dua hari, Ify tak bisa tidur. Sorot mata putus asa dari laki-laki itu sebelum menghembuskan napas terakhir membuat Ify nyaris gila. Ia sering melamun dan saat tertidur nyaris seperti orang mati membuat kedua orangtua dan sang kakak kalang kabut.

Ify hanya ingin menutup mata, berharap ia bisa berhenti melihat hal-hal yang bisa membuatnya berpotensi menjadi penghuni rumah sakit jiwa.

Suara bel yang berdering sebagai tanda masuk kelas membuyarkan lamunan Ify. Gadis berambut sebahu yang saat ini memakai kacamata itu bangkit, mengibaskan roknya agar terbebas dari debu. Setelahnya ia mulai melangkah untuk masuk ke kelas. Sedikit merasakan gugup, Ify mengambil napas dalam-dalam. Udara pagi hari memang sangat pas untuk menenangkan diri.

Dead Time (DISCONTINUED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang