"Bukan itu, maksudkuㅡ"
"Ya karena pada akhirnya, semua itu rencana Tuhan tahu, Kak. Aku tahu kalau Kak Jaehyun itu suka sama siapa namanya, lupa, yang anak cheers. Terus di tengah-tengah aku lagi sedih karena itu, tiba-tiba Kak Jihoon datang."
"Hm-m."
"Kak, tapi, kalau seandainya aku jadi sama Kak Jaehyun, kita gimana ya sekarang?"
"Kamu enggak usah mikir yang aneh-aneh." Jihoon menyentil dahi Selin, membuat perempuan itu mengaduh kesakitan tapi tertawa lebar sedetik kemudian. "Ini beneran nggak mau makan dulu? Makan ya? Nanti kamu sakit."
Selin meraba permukaan tempat tidur di belakangnya dengan tangan kiri, mencari ponsel berwarna hitam yang ia buang dengan sengaja sebelum jatuh tertidur tadi dan mengulurkannya pada Jihoon.
"Delivery order aja ya, Kak. Aku nggak mau pergi keluar soalnya udah enak dipeluk Kak Jihoon gini. Kapan lagi, kan."
Jihoon terkekeh, menerima ponsel Selin dan membuka aplikasi pesan antar makanan. "Mau makan apa?"
"Aku samain aja kayak Kak Jihoon."
"Ini aku pesen ricebowl, kamu mau yang lauknya apa? Ayam salted egg, teriyaki, barbeku, atau apa? Atau mau dagingnya sapi?"
"Ayam barbeku deh, Kak," ujar Selin sambil mengintip ke dalam layar ponselnya sementara jari-jari lentik Jihoon bergerak cepat menambahkan menu-menu ke dalam keranjang. "Kak Jihoon makan dua?"
"Aku belum makan dari siang."
"Kok nggak bilang dari tadi? Maaf ya, kirain tadi Kak Jihoon nawarin aku aja. Tahu gitu aku iyain." Selin mengerucutkan bibirnya, merasa bersalah karena membiarkan Jihoon kelaparan. "Maaf ya, Kak."
"Udahan minta maafnya," Jihoon meletakkan ponsel Selin di atas nakas dan kembali memeluk kekasihnya itu erat. Kembali ia hirup wangi stroberi yang menguar dari rambutnya, kemudian ia kecup lama puncak kepalanya. "Kalau ada orang yang harus minta maaf itu aku, bukan kamu."
"Kan aku yang biarin Kak Jihoon laper, kenapa jadi Kak Jihoon yang mau minta maaf?"
"Aku sampai nggak tahu harus mulai dari mana, Selin," desah Jihoon pelan. "Buat semua kecewa yang pernah kamu rasa karena aku, entah karena lupa tanggal penting, entah karena lupa jemput, entah karena seenaknya sendiriㅡsemuanya. Aku minta maaf."
"Kak Jihoon enggak pernah gitu...."
"Aku bukan cuma pernah kayak gitu, Selin, aku sering."
"Kak, jangan marah," rengek Selin. Perempuan itu menarik bagian depan hoodie Jihoon, nyaris menangis. "Aku nggak bermaksud bikin Kak Jihoon ngerasa kayak gitu. Aku juga enggak dengan sengaja bikin Kak Jihoon minta maaf, aku cumaㅡ"
Jihoon tidak sanggup lagi.
Ia sendiri bingung, mengapa untuk setiap kata maaf yang terlontar dari bibirnya seolah justru memancing Selin untuk mengucapkan maaf yang jumlahnya sekian kali lebih banyak. Ia benar-benar ingin meminta maaf, bukan mengutarakan maaf untuk memancing kata yang sama dari perempuan dalam pelukannya.
Jadi, ia memberi jarak. Menarik mundur tubuhnya sebelum kemudian mencium bibir Selinㅡyang ternyata bergetar pelan.
Usapannya di puncak kepala dan punggung Selin, Jihoon perlambat mengikuti tempo gerakan bibirnya. Pelan, bertujuan menciptakan nyaman dan bukannya menambah ketakutan. Cengkeraman tangan Selin pada bagian depan hoodie-nya melemah seiring dengan rasa nyaman yang Jihoon duga mulai tersampaikan.
Sayangnya, pada detik ketika Jihoon berniat memperdalam ciumannya dengan menyorongkan ujung lidah, tubuh Selin memudarㅡberubah menjadi transparan.
Tangan Jihoon tak lagi mengusap rambut dan bagian belakang pakaian kekasihnyaㅡmelainkan bergerak acak menyentuh udara kosong. Selin tak lagi di sana, menghilang entah ke mana, dan Jihoon mulai panik mencari.
"Selin?"
Jihoon mengerjapkan matanya, berharap apa yang ia lihat sekarang hanya mimpi. "Selin? Selin?! Selin!"
•••
"Hoon."
Sebuah tepukan ringan mendarat di dekat pundaknya, dan Jihoon dapat melihat Choi Seungcheol duduk di tepi tempat tidur membawa nampan berisi mangkok dan segelas air putihㅡmengulas senyum tipis penuh kekhawatiran.
Jihoon baru saja bangun, tapi bukan di kamarnya.
"Masih pusing, Hoon?"
"Aku di mana?" tanya Jihoon, menarik tubuhnya perlahan hingga kini berada dalam posisi duduk bersandar pada headbed.
"Di kamarku. Kita dari makam kemarin, tapi di jalan tiba-tiba kamu ngeluh pusing dan pingsan. Kayaknya kamu kecapekan."
"Makamnya ... siapa, Cheol?"
Seungcheol menelan ludah, menatap Jihoon nanar sebelum berujar pelan. "Selin, Hoon. Kita dari tempat Selin kemarin."
Setelahnya, kepala Jihoon seolah dibanjiri ingatan beberapa minggu ke belakang. Didominasi oleh bagaimana ia sibuk menyiapkan kado ulang tahun berupa album musik dan photobook; membawa Selin menyelinap ke dalam gedung SMA-nya untuk bermain piano dan menyanyikan salah satu tracks berjudul Downpour; bagaimana ia melihat ekspresi terkejut di wajah Selin saat mendengar berita exchangeㅡyang artinya Jihoon akan absen saat ulang tahun perempuan itu datang.
Kemudian, saat ia menerima telepon bahwa Selin meninggalㅡtewas dalam kecelakaan lalu lintas di persimpangan saat hendak pulang ke rumah.
Selin pergi, meninggalkannya yang kini dibanjiri penyesalan; meninggalkan Jihoon yang penuh kekurangan dalam mengucap cinta dan menyampaikan maaf. Selin pergi, tanpa Jihoon tahu apa perempuan itu benar-benar bahagia selama waktu yang mereka miliki bersama.
Karena jika jawabannya adalah 'tidak', maka Jihoon bersumpah Tuhan boleh menghukumnya selama sisa hidup untuk merasakan hal yang sama.
•••
🤪🤪🤪
YOU ARE READING
SEVENTEEN Imagine Snippets
FanfictionPotongan cerita dari SEVENTEEN Imagine 1.0 dan 2.0 Universe.
Bittersweet Snippets: The Day After
Start from the beginning
