3

265 15 0
                                    

Sedikit aneh alasan Mukti memberhentikan Mulya kerja. Padahal, juragan itu sering memuji kinerja anak buah itu.

Mulya melangkah dengan gontai. Entah, bagaimana nanti bisa menyambung hidup kedua adiknya. Jaman sekarang, cari pekerjaan sangatlah sulit.

Pemuda itu memandangi motor itu sambil tersenyum, ada sesuatu yang masuk ke otaknya.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucapnya sebelum melajukkan motor.

Di jalan pertigaan Mulya berhenti, kemudian ia menghampiri seseorang berjaket hitam, meminta izin duduk bersama. Dan mereka pun terlibat pembicaraan yang serius.

"Nah, itu jatahku. Nanti kalau ada, giliran kamu. Oke!"

"Oke, Bang!" jawab Mulya sambil menunjukan ibu jari. Wajahnya sumringah, menaruh banyak harap.

Beberapa orang datang menghampiri, di mana Mulya dan teman baru itu duduk. Dengan senang hati, pemuda itu menerima jasa, mengantar penumpang ke rumah yang dituju.

Setelah beberapa kali antar penumpang, Mulya pun pulang, karena kebetulan ia melewati rumah sendiri.

"Mas," sambut Siti yang sedang asik main congklak, depan rumah bersama teman-teman.

"Amir mana?"

"Di dalam, lagi tidur."

"Tumben tidur?" Mulya menatap Siti bingung.

"Tadi, abis rebutan mobil robot punya Andre, terus Amir nangis abis dimarahi mamanya Andre," jelasnya.

Pria itu memegangi dada, yang mendandak sesak. Ia pun langsung lari ke dalam, melihat Amir yang tampak meringkuk di atas kursi. Disusul adik perempuannya.

"Amir," bisik sang Kaka pelan, sambil mengusap lembut kepala adiknya.

"Mas, belum lama tidur dia."

Mulya mengangguk, dan segera  mengangkat tubuh Amir untuk pindah ke kamar.

Perih sekali melihat Amir, yang seharusnya mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Mendapat mainan sesuai keinginan, dan selalu mendapat perhatian.

"Mas," ucap Siti membuyarkan.

"Siti, besok-besok. Kamu mainnya sama Amir aja, kasian kalau sampai dia liat mainan temennya. Mas belum bisa beliin."

Siti mengangguk, diam. Ia pun merasa bersalah, tidak sempat melerai adiknya, dan akhirnya kena marah tetangga.

***

Laras berdiri depan pasar, menunggu seseorang, dari tadi belum nampak batang hidungnya. Gadis itu mulai kesal, rasa penasarannya lagi-lagi harus ditahan.

Akhirnya ia memilih pulang. Tadi sempat ke kios bapak, namun ia dibuat bingung. Bertanya ke bapak, ke mana pegawai sebelumnya. Malah disuruh pulang.

"Mas, tau rumah Mulya, gak?" Laras mencoba bertanya, pada pemilik warung makan yang kemarin sempat Mulya datangi.

"Mulya?"

"Yang kerja sama bapak saya," imbuhnya lagi.

"O, iya. Gak jauh dari sini, sih katanya. Tapi tepatnya gak tau."

"Gitu, ya. Makasih, ya."

Lesu, penasaran belum hilang. Kini ia pun tidak tau, di mana Mulya berada. Sepertinya ada yang aneh, gadis itu sibuk berpikir.

Sepeda hitamnya ia naiki, melaju ke arah yang tadi diberi tahu. Di mana Mulya itu tinggal. Kakinya terus mengayuh, sedangkan matanya menatap satu persatu gang.

Tin! Tin!

Mobil hitam berhasil membuyarkan konsentrasi Laras. Gadis itu langsung minggir, dan pemilik mobil pun turun.

Anak JuraganWhere stories live. Discover now