Bab 16

23 1 0
                                    

Menjelang siang pesta berlanjut sangat meriah, musik mengalun merdu mengiringi para pedansa di tengah hiruk pikuk suasana. Satu orang dengan yang lain saling bercengkrama, melepas penat, tersenyum bahagia bertabur tawa.

Aku menjadi pengamat dalam diam, duduk di samping si predator sembari menebar senyum semanis mungkin untuk menghormati para tamu undangan. Nyatanya, hati ini teriris sembilu.

"Gabung sama tamu yang lain, yuk. Ada temen-temenku di sana. Inget! Kita harus kelihatan romantis."

"Bukannya tiap hari dah romantis?"
Aku asal menyahut.

"Romantis apaan, debat tiap hari yang ada."

"Nah, itu salah satu bentuk romantis juga."

"Ngarang aja. Ayo, turun. Apa mau di panggung terus?" Ia berdiri sembari mengulurkan tangan.

Sekilas aku menatap uluran tangan itu. Tidak ada pilihan lain selain meraih dan mengikuti drama yang sudah aku mulai. Kalau harus jadi tuan putri, maka itu yang akan aku lakukan. 'The show must go on' begitu pepatah mengatakan, dan aku akan menunjukkan itu. Proses di belakang panggung bukan untuk dipertunjukkan di hadapan penonton.

Aku meraih uluran tangan si predator seraya memasang senyum bak miss universe. Kilatan blitz foto bertebaran menyilaukan pandangan. Kami berjalan beriringan menyapa beberapa tamu dengan menebar senyum ke segala penjuru.

Orang-orang melihat kebersamaan kami dengan berbagai ekspresi. Aku sudah tidak mampu mengamati seperti apa cara mereka memandang kami. Mungkin mereka mengira aku beruntung bisa jadi isteri pengusaha kaya. Padahal, mereka lebih beruntung bisa menikmati hidup penuh warna.

Semua gemerlap pesta tidak ada yang menarik di mataku. Padahal konsepnya adalah hal yang aku impikan selama ini. Namun, suasananya lain, tidak seperti ini yang aku harapkan. Ada gemuruh yang memenuhi dada, kebahagiaan semu yang tidak setimpal dengan nurani.

"Hei, kado kamu sudah ada tuh." Si predator berbisik di telinga, membuat sebagian orang yang melihat kebersamaan kami, tersenyum dengan hal sepele tersebut.

Aku memindai ke segala penjuru. Aku masih belum mengerti maksud 'kado' yang katanya sudah ada tersebut. Aku pun memandang si predator, dan ia langsung mengerti kalau aku tidak memahami perkataannya.

"Lihat siapa yang datang ke arah kita. Perhatiin deh, tuh di sana." Ia menunduk, mensejajarkan pandangan sembari telunjuk mengarah ke pintu.

Aku baru mengerti apa maksud 'kado' di sini. Bu Salma dan Vira melangkah penuh tawa lepas, mereka jelas bahagia. Begitu mereka ada di hadapan, aku langsung menghambur ke pelukan Bu Salma, lalu aku mendekati Vira, berharap bisa merengkuhnya dalam dekap, ternyata Vira tidak menghendaki hal tersebut. Ia mundur selangkah saat aku mendekat. Tidak mengapa, kedatangannya sudah cukup buatku. Merekalah sumber kebahagiaanku yang sesungguhnya.

"Kalian dandan di mana?" Itulah kalimat pertama yang keluar saat melihat penampilan mereka yang berbeda dari biasanya.

"Dibawa ke salon sama mereka." Bu Salma menunjuk dua preman yang kini berdiri di ambang pintu.

Kami tertawa bersama, menebar kebahagiaan dan berbagi kisah. Vira juga protes seputar kepergianku tanpa pamit kepadanya. Aku hanya bisa mengucapkan maaf untuk hal itu, terlebih sampai detik ini aku tidak memiliki ponsel. Aku pun tidak ada keinginan untuk meminta kepada si predator, itu sama saja mencari masalah.

"Kalian di sini, ya. Aku tinggal dulu. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan saat ini juga." Tiba-tiba si predator berkata demikian.

Aku mengangguk diikuti pesan dari Bu Salma untuk si predator agar berhati-hati. Tanpa aba-aba ia mendekap, lalu mengecup dahiku di hadapan banyak orang. Kejadian itu terlalu cepat, dan tidak mungkin aku menolak, terlebih ini di hadapan umum.

MOVE ON (COMPLETE)Where stories live. Discover now