Bab 2

174 27 46
                                    

Dua hari pasca bertemu si predator menyebalkan, sore itu juga aku kembali ke Jakarta. Kembali ke rutinitas harian di mana aku hanyalah seorang pelayan di sebuah salon kecantikan. Namun, sayangnya aku terlalu pengecut untuk terus terang kepada keluarga selama ini. Setahu mereka, aku kerja di kantor dengan gaji melimpah.

Baru saat bermalam di rumah Bu Salma beberapa hari lalu, semua rahasia itu kubongkar. Ia tidak terkejut, melainkan hanya memberikan nasihat padaku agar tidak mengulangi lagi. Namun, sekarang rasanya percuma karena Bapak dan Ibu sudah tiada. Vira? Ah, ia tidak akan memedulikan aku bohong apa tidak. Buat ia, transferan bulanan ke rekeningnya lancar, itu saja.

Hidup rasanya tidak ada yang spesial, apalagi menarik. Terkadang apa yang kita inginkan, tidak sepadan dengan apa yang ada di depan mata. Harapan hanyalah mimpi yang kemungkinan terwujudnya sekitar sepuluh persen saja.

Tiga puluh menit setelah rebahan di kost-an, aku langsung menemui tambatan hati. Bertemu Arsen serasa menemukan penawar kala racun telah menggerogoti badan. Ia bukan hanya kekasih, tetapi belahan jiwa yang mampu kuandalkan. Penampilan yang bagaikan preman, membuatku merasa aman saat jalan dengannya. Rambut yang dikuncir kuda, menambah kesan keren, dan layak ditakuti. Satu hal darinya yang tidak aku suka, yakni pergaulannya yang menurutku terlalu bebas.

Malam itu, dada bidangnya menjadi tempat kedua setelah Bu Salma yang menjadi sandaran tangisku. Kali ini semuanya tercurah.

"Menangislah, tapi cukup hari ini. Habiskan tangis itu sekarang." Ia kemudian mengecup dahiku, terasa hangat dan menjalar hingga ulu hati.

Aku mengangguk seraya menjauhkan kepala dari dada bidangnya. Menatap binar mata yang membuatku tentram, sungguh tanpanya mungkin aku akan menghabiskan malam dengan tangis tak berujung.

"Jalan-jalan sebentar, yuk?" Ia langsung berdiri, lalu menarik kedua lenganku kuat-kuat hingga aku berdiri menghadapnya.

"Eh .... ke mana?" Aku setengah berlari saat tiba-tiba tubuhku ditariknya cepat.

"Ikut saja." Ia tersenyum sekilas, lalu genggamannya dipergelangan tangan semakin kuat.

Kami berlari menyusuri jalan di bawah remang lampu-lampu kota yang berjajar di tepian. Deruan mesin mobil beradu dengan bising klakson yang seolah berlomba adu kecepatan.

"Capek! Udah hampir setengah jam loh!" Aku melepas genggamannya, lalu asal duduk di tepi jalan.

Kedua kaki kuluruskan dengan kupijat perlahan, sekedar melepas lelah, dan mengendurkan otot-otot yang kaku.

"Udah hampir sampe, ayo!" Ia mengulurkan tangan, menunggu aku meraihnya.

"Gendong." Aku menggodanya, kali aja ia mau, beruntung, 'kan? Hehe.

"Aku tidak kuat menggendong gorila."

"Apa!" Aku memelototinya, berharap dia segera minta maaf.

Nyatanya, ia hanya nyengir kuda, lalu berlari saat dilihatnya aku berdiri cepat.

"Hei! Tunggu! Awas kamu!" Aku mengejar diikuti tawa kerasnya dari kejauhan.

Begitu sampai di sebuah taman kota, aku melihat ia masih tertawa saat dilihatnya aku berjalan dengan napas tersengal.

"Baru segitu udah ngos-ngosan? Hh, payah! Yah, namanya juga gorila. Hahaha!" Mendengar ejekan tersebut, aku bertekad mempercepat langkah.

Begitu sampai di dekatnya, aku langsung memukul sekenanya. Ia meringis dan menarikku dalam dekap, lebih tepat mengunci gerakan tanganku agar tidak lepas kendali.

"Ih, curang!" Aku berontak sekuat tenaga. Mencoba lepas dari cekalannya

" Tapi suka, 'kan?" Ia semakin gencar menggoda.

MOVE ON (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang