Internal Disease

4 1 0
                                    

MALAM ini tidurku terganggu.

Sudah penat aku seharian menghadapi semesta yang dipenuhi penyakit ini, rupanya belum tuntas juga masalahnya denganku. Padahal istirahat buatku tidak perlu rumit—hanya cukup dengan berbaring di atas kasur empuk dengan kepala disangga bantal bulu angsa kualitas premium. Kalau tidak panas, mungkin aku akan menghamparkan selimut bulu halus kesayanganku. Tanpa perlu melakukan apa-apa. Biasanya aku hanya melarikan pandangan ke langit-langit kamar yang diterangi kandelir redup. Kristalnya memancarkan sinar lembut yang menerangi lukisan para malaikat kecil nan gemuk yang melayang di antara awan-awan.

Atau jika sedang bosan, kulempar pandanganku jauh ke luar jendela depan kamar yang mega lebar dan menjatuhkannya ke taman buah luas yang mengelilingi rumahku. Atau jika mataku bergeser sedikit ke jendela samping, maka bisa kutemukan gudang hartaku di dekat pohon srikaya favoritku, tepat di sebelah rumahku. Sambil menikmati pemandangan itu, hatiku tak henti merapalkan, "ini punyaku, itu punyaku, semuanya punyaku" hingga kantuk menelan kesadaranku. Dengan itu, aku tidak perlu lagi memikirkan masalah yang menggerogoti dunia luar, tidak perlu lagi khawatir akan virus yang kabarnya makin merebak.

Namun rupanya ketukan berkali-kali di pintu kamar membuyarkan rencanaku menutup hari.

Kuembuskan napas kasar. Setengah hati, aku beranjak dari pelukan kasurku dan membuka pintu, hanya untuk menemukan Rajendra yang menatapku sungkan. "Setan mana yang menakutimu sampai harus menggangguku larut malam begini, hah?" semburku langsung.

"Maafkan saya, Tuan. Tapi ada beberapa orang yang ingin menemui Anda...," pria jangkung kurus itu bergumam setengah berbisik. Sayup-sayup hiruk pikuk dengan segera mengambil alih, memotong kalimat orang kepercayaanku yang tidak sempat diselesaikannya.

Aku berdecak keras. "Besok belum waktunya kiamat. Tidak bisakah mereka sedikit tahu diri dan menunggu?"

Sekali lagi Rajendra meminta maaf. "Mereka bersikeras ingin menemui Anda sekarang, Tuan. Saat ini mereka sudah berada di depan pagar," ia melanjutkan dengan takut-takut.

"Penyakit." Mau tak mau aku memimpin langkah Rajendra menuju depan rumah. Sambil jalan, kukenakan APD yang diberikan Rajendra untuk melapisi piama sutraku. Sepuluh meter dari pagar yang mengelilingi perimeter rumah, dua puluh meter dari tempatku berdiri, dua puluh penjaga berbaju APD khusus bersiap dengan senjata masing-masing. Untuk sesaat aku menganggap mereka berlebihan sebelum mataku menangkap titik-titik api dari obor yang dibawa warga.

Sialan. Apa mereka tidak pernah mendengar imbauan untuk tidak berkerumun seperti itu?

"DIRGA! KAMI MAU DIRGA!" Ck, benar-benar tidak sopan. Berani-beraninya kaum jelata itu memanggil namaku tanpa ada penghormatan sedikit pun. Kupingku panas dibuatnya. Langkahku yang dibalut geram pun akhirnya terhenti di depan gerbang, di sisi yang berlawanan dengan para pengemis berbaju rombeng itu.

"Berisik!" aku membentak. "Dasar setan! Tidak tahu apa orang mau tidur?!" Satu per satu kutelisik wajah mereka. Kusam dan kotor. Tangan mereka yang keriput dan berkapal dipenuhi noda-noda hitam entah apa. Mereka pasti belum cuci tangan. Dan berani-beraninya mereka menyentuhkan kulit hina mereka ke pagar istanaku yang suci?

"Kau yang setan, bajingan!" Kerumunan membuka, memberi jalan bagi sesosok wanita kerempeng untuk maju. Aku ingat wanita itu. Minggu lalu, dengan alasan pandemi yang meluas mengakibatkan kelangkaan barang dan melonjaknya harga sementara suaminya dirumahkan, ia datang bertamu—ah, bukan, lebih tepatnya mengemis. Sama seperti apa yang dilakukan teman-temannya. Masih jelas dalam benakku bagaimana airmatanya meleleh tak henti-henti. Wajahnya yang kusam dan coreng-moreng dengan jelaga itu merengek, menonjolkan gigi-gigi besarnya yang kuning. Buruk sekali. Belum lagi bau sampah yang menguar kuat dari tubuhnya, sama seperti pada saat ini. Rasanya aku mau muntah.

Internal DiseaseWhere stories live. Discover now