"Semalam aku mimpi buruk," Sejeong menunduk, "Aku memimpikan kapal yang akan membawa kita pergi akan karam, dan tenggelam, hanya ada satu sekoci dan pelampung untuk menyelamatkan diri, aku takut," Perempuan itu menahan napasnya.


"Jika itu benar-benar terjadi, apa yang akan kau lakukan?"


Doyoung berpikir sebentar, lalu menjawab asal, "Menurutmu? Tentu saja aku akan memberikannya untukmu, Kau kan tidak bisa berenang,"

"Kau tahu aku dulu di sekolah juara tim renang? Jika aku masuk ke air dan masih perlu menggunakan pelampung, maka aku akan kehilangan muka,"

"-- Waktu itu Jeno juga bilang begitu," Potong Sejeong. "Tapi dia berbohong,"


Hening sebentar. Rasanya atmosfir sekitar kamar hotel ini memberat setelah Sejeong menyebut nama itu. Nama Adik kesayangan Sejeong yang meninggal dalam kecelakaan kapal dua tahun yang lalu.


 "Kau tahu aku tidak bisa berbohong padamu," Doyoung tersenyum lebar. "Aku pergi dulu ya Sayang, aku akan kehabisan waktu,"

"Jangan terlalu memikirkannya, semua mimpi buruk itu tidak akan terjadi. Percaya padaku semua akan baik-baik saja. Juga, jangan merokok!" teriak Doyoung serius.


Dia tahu setiap Sejeong teringat Adiknya Jeno dan kematiannya yang tragis, dia akan merokok tanpa henti.


Pintu tertutup. Meninggalkan ruangan dalam keadaan penuh keheningan.


Perlahan Sejeong bangkit dari duduknya, meraih piyama yang tergeletak sembarangan di lantai dan memakainya. 

Dia duduk di tepi jendela yang mengarah langsung ke arah jalan raya. Menatap jauh dengan tatapan kosong.

Sejeong meraih sebatang rokok, menyalakannya dan menghisap dalam-dalam. 



Lima belas menit kemudian, ponsel Sejeong di atas tempat tidur bergetar.

"Halo John,"

"Tuan Puteri," Suara laki-laki menyapa di seberang, "Sepuluh menit yang lalu Kim Doyoung tiba di depan sebuah restoran tidak jauh dari hotel anda dan bertemu dengan kepala kepolisian unit 101, Tuan Park. 

Dia telah menyerahkan barang bukti ke orang itu, dia benar-benar mengkhianati kepercayaan anda dan tuan Kim,"


"Huh," Sejeong tertawa getir. Asap yang dia hembuskan di sela-sela bibir dan hidungnya mengaburkan pandangannya. "Terus ikuti dan laporkan,"

Sejeong menutup telepon, dan bersamaan dengan itu terdengar suara pintu yang dibuka.

Sejeong memperhatikan Doyoung yang masuk dengan pipinya yang sedikit kemerahan karena angin dingin di luar.

Begitu Doyoung memasuki ruangan, dia segera menghirup udara di dalam ruangan dan marah-marah, mencium bau asap rokok, "Sudah kubilang jangan merokok! kau mau aku tersedak lalu mati? . . . . . uhuk, uhuk,"

Sejeong dengan cepat membuka jendela, membiarkan udara luar yang sejuk mengganti udara dalam kamar yang penuh asap.

"Bagaimana? Sudah mengirimkan wesel ke Ayahmu?" 


"Uhm," Doyoung berdehem sedikit, "Ada begitu banyak orang di bank, tapi untung antreannya tidak begitu lama, kukira aku akan terlambat," Kata Doyoung sambil tertawa di akhir. 

Doyoung bergegas mengemasi kopernya untuk ke Hokkaido, untuk melakukan perjalanan bisnis perusahaan sekaligus berlibur dengan perempuan kesayangannya, Kim Sejeong.


Dia sama sekali tidak memperhatikan bahwa tatapan mata Kim Sejeong, perlahan-lahan berubah menjadi seperti es yang dingin.


Kau benar, Doyoung. Kau tidak akan bisa berbohong dariku.



Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



***



TBC

Ini harusnya jadi oneshoot, tapi Meri gak tahan nulis banyak banyak wkwkwkwkwkwk. 

PandoraWhere stories live. Discover now