Masing-masing melempar tanda tanya, apa yang membungkam Vanilla. Sampai detik berikutnya spekulasi seseorang sukses memusatkan perhatian mereka. "Gara-gara Vino?"

Vanilla menepuk kedua telinganya bergantian. Mana tahu tersumbat dan dia salah dengar. Lantas balik bertanya, "Boleh diulang?"

Quena menelan salivanya susah payah. Merasa terintimidasi. "Gue nanya gara-gara Vino, ya?"

"Lo tau dari mana?"

"Ehm ... dulu kan kita sekelas."

"Iya, gue tahu. Tapi si Bella, Laryssa, Mina, sama Hani juga dulu sekelas sama gue. Tapi mereka gak kepikiran sama sekali soal Vino. Terus dari mana lo bisa ngambil kesimpulan begitu?"

Telapak tangannya mulai berkeringat. "G-gue gak tahu. Beneran gue cuman asal ceplas-ceplos tadi."

"Lo berani sumpah?" tantang Mina.

Quena mengulum bibir. Aliran darahnya sudah berdesir dari bawah ke atas. Bola matanya terus berputar tak tentu arah. Dia tak berani bersumpah berdasarkan kebohongan. Sudah berpotensi masuk neraka malah nambah dosa pula, pikirnya.

Sepuluh detik berlalu sia-sia, akhirnya sepintas ide muncul di benak Quena. "Dari dulu gue diajarin sama bunda gak boleh sumpah-sumpah. Dosa katanya. Lagian, perasaan tadi yang mau diinterogasi Vanilla, kan? Kok jadi gue?"

Vanilla tertawa hambar. Siapa yang menduga ada otak licik di balik tampang sepolos bayi. "Kurang asem lo. Malah main bawa-bawa gue."

Sejujurnya Bella masih curiga. Tapi bila mengungkit perihal Vanilla, urusan Quena mungkin bisa dibahas lain waktu. "Yaudah, lain kali aja ngurus dia. Urus curut ini aja belum beres." Bella melirik Vanilla sekilas.

Lagi-lagi gadis itu tak terima. "Kok gue yang disalahin terus?"

"Yaudah, deh. Gue interogasi lo nanti aja. Sekarang Vanilla dulu. Gausah pura-pura bego lo! Buruan cerita!" seru Mina.

Dalam hati Quena memekik kegirangan. Sampai-sampai tak sadar Vanilla tengah menatapnya tajam. Sebelum mencapai gilirannya, dia bisa saja pamit pulang duluan. Pintar, kan?

Kembali pada Vanilla. Gadis itu mulai menimbang-nimbang ingin bercerita atau memendamnya sendiri seperti yang selama ini ia lakukan. Vanilla terlalu terbiasa sendirian. Menyimpan keluh kesahnya diam-diam dan berakhir terisak tanpa suara. Kehadiran Vino nyatanya tak mengubah banyak hal. Vino tak bisa menghadirkan rasa nyaman yang ia mau, seperti Angkasa dulu.

Ah ... jadi teringat mantan, kan.

Bella mengibaskan tangan di depan wajah Vanilla, mengenyahkan lamunannya. "Malah melamun. Cepetan cerita atau kita berlima cuekin lo," ancam Bella serius.

Baiklah. Vanilla mendadak lemah kalau sudah diancam menjauh darinya. Lagi pula bercerita sedikit mungkin bisa membuatnya merasa lega. Vanilla menegakkan punggung, menatap satu per satu manusia di depannya. "Tolong jangan teriak kalau gue udah cerita. Gue ... ehm ... dijodohin sama Vino."

"Setan."

"Babi."

"Asu."

"Kambing."

"Bekicot."

Masing-masing mengeluarkan jurus umpatan andalannya.

Vanilla terkikik geli. "Gue lanjut, ya. Semalam gue diundang makan malam di rumah Vino. Bokapnya keluar nyambut gue. Setelah ngobrol-ngobrol singkat akhirnya kami diajak masuk. Tapi bokap gue tiba-tiba keingat mobilnya baru dicuci. Berhubung udah mendung, bokap minta izin buat pinjem garasi. Selagi bokap gue ngurus mobilnya, gue sama abang diajak masuk duluan. Entah kenapa pas lagi jalan, gue ngerasa ada yang ngerangkul punggung gue. Ya otomatis gue langsung was-was. Apalagi yang megang om-om. Gue berusaha gak kelihatan gak nyaman dengan geser pelan-pelan deketin abang. Tapi abang gue emang kampret, gak ada peka-pekanya. Terus bokapnya Vino bisikin sesuatu. Katanya kalau pernikahan gue sama Vino diadakan dua bulan ke depan gimana? Bertepatan setelah waktu kelulusan. Gue tahu niatnya cuman bercanda, tapi gue keburu paranoid sendiri. Jadi gue—"

8 LETTERS Where stories live. Discover now