SERPIHAN 1

113 22 18
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Cowok idaman itu seperti apa, sih? Seringkali pertanyaan itu terbayang dipikiran, dulu dengan lantang Marsha akan menjawab Choco. Sahabatnya yang sedang memboncengnya kini.

Lambat laut perkataan teman-temannya mempengaruhinya.

"Cowok itu harus putih, ganteng biar gak malu-maluin diajak kondangan," ucap Lona sambil menaburi bedak di pipinya.

"Choco juga ganteng, kok." Marsha menjawab tak mau kalah, ia menaikkan alis menantang.

Amara mendengus mendengar percakapan kedua temannya. Cewek cuek yang memiliki tingkat kesabaran menghadapi kawanan cewek semacam Lona dan Marsha.

"Mata lo emang harus di resparasi deh, biar bisa bedain cowok cupu sama keren. Nempel mulu sih, lo."

"Dari dulu kayaknya lo sinis deh, sama Choco. Jangan-jangan lo suka lagi sama dia." Tuding Marsha sambil menyipitkan mata. Alih-alih terlihat mengancam malah kini nampak seperti anak kecil yang ngambek gak dibeliin jajan.

Lona membelalakkan mata dramatis tak terima dengan ucapan Marsha. "Ngapain suka sama friendzone lo, mending Aksa kemana-mana."

"Enak aja friendzone. Dia sahabat gue! Aksa emang kenal lo? Halu kali."

Aksa anak kelas sebelah yang katanya dingin semacam freezer berjalan dan suka ditempelin ceweknya yang agresif, entah siapa namanya.

"Mending halu, ketimbang lo buta pesona. Bedain cogan aja gak bisa."

"Lo--"

"Udah-udah. Berisik tahu gak, sih!" seru Amara frustasi. Enggak di sekolah, rumah dari zaman SD sampai SMA kerjaannya ribut terus. Heran sama mereka berdua.

Nyatanya setelah diberi amukan gorila, kedua cewek itu langsung diem meski tatapan laser saling beradu.

"Udah sampai," tegur Choco sambil mengusap kepala Marsha. Heran hobi sahabat kecilnya ini suka melamun.

Marsha segera turun dari montor, daripada menunggu Choco memakirkan kendaraan ia nyelonong begitu aja. Memasuki gerai-gerai toko yang baru buka, sesekali tercium bau sampah pasar tradisional.

Sampailah ia di gerai Mang Antop yang tutup, Marsha memajukan bibir. Beginilah nasib datang kepagian. Ia berputar balik dan menabrak dada Choco, dari baunya aja udah ketahuan, lavender.

"Udah jangan dimonyong-monyongin gitu, kayak bebek," ledek cowok berkacamata itu sambil menyentil dahi Marsha.

Cewek itu mendengus, mengusap dahinya dengan wajah semakin tertekuk. "Gara-gara lo dibilangin gak percaya. Enak, kan tadi kalau masih ngebo."

Seulas senyuman lembut hadir di wajah Choco, membuat Marsha untuk sesaat tak mampu berpaling. "Gue traktir deh, es krim kayak biasa. Jangan ngambek, ya."

Mana bisa ngambek lama-lama gini, kalau lo manisnya kelewatan.

Marsha memalingkan wajah ngambeknya, meski begitu tak bisa ia sembunyikan semburat merah di pipi.

***

Pagi-pagi dengan es krim cokelat definisi surga bagi Marsha. Meski udara masih terasa dingin, cewek itu terlihat santai menyantap es krimnya.

Choco duduk bersandar pada tembok, diam tak memesan es krim pula. Tatapannya terkunci pada gadis manja di depannya.

"Cewek idaman lo kayak apa?"

Celetukan Marsha membuat Choco mengerjap. Dia berdehem, mau membuka mulut tapi terkatup kembali.

Marsha menunggu dengan tidak sabaran. Es krim yang sudah tandas ia singkirkan di seberang meja, memang kurang ajar.

"Gimana, ya?" Garuk-garuk kepala ia pilih.

"Kok malah tanya balik, sih?"

Choco hendak menjawab saat sebuah tepukan di pundaknya diikuti sebuah suara menghentikannya.

"Hai, Bro!"

"Zero?"

Marsha mengerjap-ngerjapkan mata menatap cowok yang bernama Zero itu, rambut cokelat berjambul, rahang kokoh dan mata biru. Astaga!

"Bule nyasar," ceplosnya mendatangkan kedua tatapan menoleh ke arahnya.

Zero seperti baru sadar akan keberadaan satu makhluk lagi. "Dia siapa?"

"Pacar gue."

To be continue ...

See you again 💙


9 April 2020

MA(CHO) [END]Where stories live. Discover now