Late Night

704 91 27
                                    

Denting jarum jam menunjukkan pukul tengah malam. Aku masih betah duduk di depan buku-buku yang bahkan tak satu pun persoalan di dalamnya bisa terselesaikan. Berkali atensiku beralih pada layar ponsel, berharap pesan balasan yang sedari ku tunggu. Aku menghela napas dalam, menutup buku kasar dan menumpu kepala di atasnya.

Andai Kevin disini pasti aku sudah jadi bahan olokannya, 'balada kebucinan anak muda'. Seperti itu. So sad but true, even if I know it is impossible.

Ting..

Aku sontak bangun dan mengecek ponsel membuka pesan itu.

Yuri🐷
Anak koala kalo bapaknya gajah jadi apa?

Me:
Pala lu kotak

Yuri🐷
Dih, tumben blm tidur
Gua di toko dpn komplek

Aku mendelik, membaca kembali pesan dari Yuri. Perempuan macam apa tengah malam begini malah berkeliaran. Aku bangkit, mengambil jaket lalu keluar hendak menemui Yuri.

Aku berlari menyusuri komplek di antara temaram lampu jalanan, beruntung jarak rumahku dan toko itu cukup dekat jadi tidak perlu membawa mobil. Bahaya, bisa-bisa ketahuan papa atau mama dan berakhir Yuri tidak pulang hingga besok. Ya, Yuri seringkali kabur dari rumahnya bahkan beberapa kali sampai harus menginap di rumahku.

Tokonya sudah terlihat, Yuri duduk di teras sedang sibuk mengaduk ramen. Syukurlah, aku pikir dia menangis sendirian.

"Ngapain lu? Minta diculik?" sapaku lalu melepas jaket dan meletakkannya di punggung Yuri.

"Gak liat gua lagi makan?" jawabnya sambil meniup ramen.

Aku menghela napas kasar, menarik kursi lalu duduk di hadapannya.

"Pulang gih, dicariin mamah lhu enthaar," ucap Yuri lagi dengan mulutnya yang penuh.

"Yang cewek kan elu, ngapain nyuruh gua pulang? Lagian nih ya komplek lu dari sini kan jauh. Gak takut diapa-apain orang di jalan? Bandel banget sih! Kalo mau kabur sekalian ke rumah gua kan bisa, lebih aman,"

"Bacot dah!" Yuri memukul meja menghentikan ucapanku.

"Just, why?" Aku melemahkan suara, mencoba menurunkan emosinya.

Yuri tidak menjawab, malah menundukkan kepalanya di meja lalu menangis hingga sesenggukan.

Yuri sebenarnya bukan gadis yang cengeng. Dia malah terlihat cuek, kasar dan tidak peduli jika saja kalian belum dekat dengannya. Wajahnya yang jutek makin menguatkan image dingin ketika pertama kali bertemu.

"Come on, princess doesn't need to cry. Huh?"
bujukku.

Tangisan Yuri tidak kunjung berhenti. Kasir di dalam toko pun ikut melihat ke arah kami berdua. Meskipun bukan pertama kalinya, tetap saja aku kewalahan menghadapi Yuri saat seperti ini.

"Gua anterin pulang, oke? Mama lu pasti nyariin,"

Yuri masih tidak merespon.

"Ya udah lanjutin nangisnya,"

"Huwaaaaa...," Malah makin kencang.

Aku tersenyum getir, menyaksikan tangisan Yuri terasa menyakitkan. Perlahan tanganku meraih kepalanya, menepuk dan sesekali membenahi surainya yang tak lagi beraturan.

"Gua mungkin gak tau rasanya, tapi gua tau lu kuat," bisikku.

"Himne, Yuri-ah!"

Melihat Yuri, bohong rasanya jika aku tidak khawatir. Dia sering datang kesini jika keadaan di rumahnya sedang kacau. Rumah, bukan lagi tempat ternyaman untuknya. Banyak hal-hal buruk terjadi beberapa tahun belakangan, semuanya berubah.

Setengah jam aku menunggu hingga Yuri berhenti menangis dengan sendirinya. Walau masih menyisakan cegukan, dia sudah bisa lebih tenang. Memang ini yang ingin dia lakukan ketika kabur dari rumah, menangis dan melampiaskan segala emosinya.

Setelah susah payah membujuk Yuri pulang, akhirnya aku terpaksa menarik tangannya dan mulai berjalan meninggalkan toko. Tidak ada taksi, hari sudah terlalu larut jadi terpaksa kami berjalan kaki menuju rumahnya.

Bintang masih berkelip menemani perjalanan kami berdua. Yuri berjalan gontai, sedangkan tanganku masih sibuk menariknya agar lebih cepat. Aku sebenernya sudah sangat mengantuk tapi melihat keadaan Yuri rasanya ini sudah menjadi tanggung jawabku. Tidak, aku bukannya menyesal. Ini memang tugasku menjaga Yuri, Lisa dan yang lainnya.

"Lu gak dingin?" tanyanya.

"Dingin, makanya cepetan," jawabku.

"Ya ini jaket lu dipake makanya,"

"Gua gak butuh jaket, butuhnya sunblock,"

"Aah, ndee. Tapi serius gua gak mau pulang,"

"Jangan ngada-ngada. Lu mau tidur di pinggir jalan?" ujarku masih tetap berjalan lurus.

"Gak ada yang bakal nyariin gua juga," omelnya.

"Jangan batu dah, orang tua lu di rumah pasti nungguin,"

"Siapa? Orang mereka aja lupa kalo punya anak!" jawab Yuri menghempaskan pegangan tanganku.

Aku berhenti, berbalik dan memandangi manik Yuri yang berkaca.

"Papa mama lu nelponin gua dari tadi, dia nyariin lu," sahutku.

"Bilang kalo gua gak bakal pulang,"

"Gua tau lu kecewa, but please gimana pun mereka orang tua lu,"

"Lu gak ngerti, Jim!" teriak Yuri. Emosinya kembali memuncak menumpahkan air mata yang baru saja kering.

Aku menghela napas untuk yang ketiga kalinya.

"Kata siapa?"

"Pulang sana!" serunya mendorongku menjauh.

"Gua bilang pulang!" Kali ini dia memukul lenganku. Perih.

"Pulang aja, Jim. Makasih udah nganterin Yuri ya," Aku berbalik, ada Om Yuta yang menunggu ternyata di belakangku.

"Eh, Om. Maaf bujuk Yuri pulang sampe kemaleman," ujarku.

"Udah hampir pagi malah," Om Yuta menjawab sambil tersenyum.

Aku melihat layar ponsel, ya Tuhan sudah jam setengah 3 pagi.

"Gak papa, makasih ya. Maaf ngerepotin Jimmy terus. Bawa mobil Om aja pulangnya, kan jauh mana udah sepi lagi," Om Yuta mendekati Yuri lalu merangkulnya. Meski terlihat kurang nyaman tapi Yuri juga tidak menolak.

"Ah, gak usah. Gak papa Om, hitung-hitung olahraga pagi," kilahku. Ya percuma saja aku pergi tanpa membawa mobil jika pulang harus membawa mobil Om Yuta.

"Makasih," ucap Yuri.

"Ya udah. Jimmy pamit ya Om, Yuri," Dari pada memperpanjang percakapan hingga matahari terbit lebih baik aku segera pulang karena besok harus sekolah. Ah, tidak!

Aku berjalan meninggalkan mereka. Hawa dingin mulai terasa, aku menggosok-gosok lengan berharap sedikit mengurangi tubuhku yang menggigil. Jaketku! Aku meninggalkannya pada Yuri dan sekarang aku yang kedinginan.

Sial! "NAKAMOTO YURIII!!" teriakku sambil berlari.

Yuki No HanaWhere stories live. Discover now